Liputan6.com, Jombang - Momen pergantian tahun selalu diperingati oleh masyarakat di dunia, termasuk pada tahun baru 2023. Di Indonesia, perayaan tahun baru juga tak kalah meriah.
Seperti pada momen pergantian tahun 2022 ke 2023 ini, misalnya. Masyarakat di berbagai daerah telah melakukan persiapan. Itu termasuk pemerintah daerah maupun institusi bisnis.
Namun begitu, lantaran mayoritas masyarakat di Indonesia muslim, nyaris tiap tahun akan terjadi perdebatan boleh tidaknya merayakan tahun baru Masehi. Sementara, dalam tradisi Islam sendiri, kalender yang dikenal adalah Hijriyah.
Advertisement
Baca Juga
Lantas bagaimana hukum merayakan tahun baru Masehi?
Menurut Ahmad Samsul Rijal, Katib Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang, pergantian tahun baru masehi tidak memiliki makna khusus dan hanya merupakan momentum pergantian tahun saja.
“Banyak ulama salaf dan khalaf yang memandang pergantian tahun dari sudut sosial. Terlebih bila hidup di tengah keragaman agama, budaya dan tradisi. Maka, banyak ulama yg berfatwa, tidak ada larangan mengucapkan atau merayakan tahun baru. Artinya, boleh dilakukan dalam kehidupan sosial (mubah) dan tidak masuk dalam kategori bid’ah (tidak Sunnah), bahkan bila dalam merayakannya ada kebaikan yang muncul, maka kegiatan itu menjadi kebaikan," jelasnya, dikutip dari laman NU Online, Jumat (30/12/2022).
Pria yang akrab disapa Rijal ini mengatakan, pergantian tahun adalah hal yang patut disyukuri. Sebab, terbuka kesempatan baru, harapan baru untuk berikhtiar menjadi lebih baik.
"Pada saat yang sama, kita pun bisa melakukan perenungan terhadap apa yg telah kita lakukan. Mulai dari apa yang kita jalani selama ini di tahun sebelumnya hingga rezeki yang patut disyukuri. Bila disadari banyak kemudhorotan, tentu perlu memperbanyak Istighfar, taubatan nasuha serta niatan untuk menjadi lebih baik di tahun berikutnya," dia menjelaskan.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Cara Merayakan Tahun Baru yang Islami
Rijal mengungkapkan, berdasarkan berbagai referensi dan penyikapannya, NU melihat dari sudut pandang sosial. Bahwa dalam kehidupan sosial perlu adanya toleransi, sikap moderat serta amar ma'ruf nahi munkar dan harmoni dalam menjaga kebaikan bersama. Sehingga, banyak tokoh NU yang berpendapat memperbolehkan merayakan dan mengucapkan selamat tahun baru.
“Faktanya, kita berada di dalam kehidupan sosial yang beragam serta pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan serta kebersamaan. Sehingga, alasan ini mendominasi dalam membuat hukum suatu persoalan, bukan dari sudut pandang aqidah," tegasnya.
Nabi bersabda:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Man tasyabbaha bi qoumin fahuwa minhum,".
Artinya: Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia menjadi bagian daripadanya.
"Maknanya, jangan mengikuti kebiasaan yang tidak baik dalam merayakan momentum pergantian tahun. Jangan merayakan tahun baru dengan kemaksiatan, kesenangan yang melupakan, mengikuti hawa nafsu yg tidak terkontrol, bahkan hal-hal terlarang oleh agama," ujarnya.
Menurut Rijal, momentum ini harus lebih banyak bersyukur atas pergantian tahun dengan melakukan dzikir, shalawat, bersedekah serta menyenangkan tetangga dan teman dengan pemberian yang diperbolehkan. Selain itu, bisa juga melakukan muhasabah atau perenungan diri agar lebih baik di tahun berikutnya.
Rijal juga berharap, tahun baru dapat dipahami sebagai keberkahan bagi semuanya, khususnya bagi kaum muda. Tahun baru artinya, bersemangat untuk saling membantu sesama dan tidak menjadi orang yang merugi.
“Tanamkan terus kebaikan serta pupuk harapan untuk selalu menjadi orang yang bermanfaat dengan kreativitas yang menggugah semangat orang lain untuk berbuat baik (kreatif dan inovatif)," pungkasnya.
Tim Rembulan
Advertisement