Kisah Karomah Syaikh Abu Hasan As-Syadzili, Hadapi Fitnah Keji dengan Ilmu dan Kekuatan Doa

Syaikh Abu Hasan As-Syadzili merupakan salah seorang wali besar yang lahir di daerah Maghrib, Maroko pada tahun 1197 M. Berdasarkan riwayat beliau menyandang gelar wali agung berpangkat al-Ghauts.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Mar 2024, 08:30 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2024, 08:30 WIB
Abu Hasan As-Syadzili (SS: YT Short @adilashanum)
Abu Hasan As-Syadzili (SS: YT Short @adilashanum)

Liputan6.com, Cilacap - Syaikh Abu Hasan As-Syadzili merupakan salah seorang wali besar yang lahir di daerah Maghrib, Maroko pada tahun 1197 M. Berdasarkan riwayat beliau menyandang gelar wali agung berpangkat al-Ghauts.

Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa maqam wali tertingi dinamakan al-Qutb (kutub) yakni poros alam. Terkadang juga dinamanakan Al-Ghauts yang artinya penolong atau sultanul awliya (rajanya para wali).

Beliau merupakan keturunan Rasulullah SAW melalui garis nasab Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sepanjang hidupnya, beliau selalu mengesampingkan aspek-aspek duniawi dan hanya semata-mata ingin selalu dekat dengan Allah SWT.

Dalam perjalanan hidupnya, beliau tak luput dari onak durinya kehidupan. Beliau pernah ditimpa fitnah yang keji. Meski demikian, ia tidak menyerah dan patah arang. Dengan bekal cahaya ilmu yang dimilikinya dan kekuatan doa, beliau selamat dari fitnah keji itu.

Adapun kisah ini disarikan dari laman Islami.co yang bersumber terjemahan kitab Abu al-Hasan al-Syadzili: Hayatuhu, Tashawwufuhu, Talamidzuhu, wa Auraduhu karya Makmun Gharib.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Pengembaraan Intelektualnya

Ilustrai- Kafilah pengendara unta di padang pasir. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)
Ilustrai- Kafilah pengendara unta di padang pasir. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)

Pada abad 7 Hijriah, Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili berguru kepada Syekh Abdul Salam ibn Masyisy di Maroko yang mengajarkan salah satu nasihat penting, "Amal paling mulia adalah empat setelah empat,".

Empat pertama adalah cinta kepada Allah, ridha dengan ketentuan Allah, berpantang pada dunia (zuhud), dan tawakal kepada Allah.

Empat berikutnya adalah mengerjakan yang diwajibkan oleh Allah, menjauhi yang diharamkan Allah, sabar menghadapi yang tak diinginkan, dan menahan diri dari yang disukai.”

Setelah cukup lama berguru, belajar, dan mengikuti jalan mistiknya, pembimbing rohani tersebut menyarankan agar Syekh Al-Syadzili pergi ke Tunisia, lalu pindah ke sebuah Negeri bernama Syadzilah karena di tempat itu kelak Allah akan menganugerahinya nama ‘Al-Syadzili’.

Sesampai di Tunisia, Syekh Al-Syadzili menemukan Bukit Zaghwan dan memutuskan menetap di sana untuk berkhalwat ditemani seorang saleh, bernama Abu Muhammad Al-Habibi. Tatkala ketaqwaan dan keilmuannya sudah matang, ia merasa siap terjun ke tengah masyarakat untuk menyebarkan ajaran agama. Kapasitas ilmu dan kesalehannya segera mengangkatnya sebagai pusat perhatian.

Mendapatkan Fitnah Keji

Sensasi Naik Unta Menjelajahi Padang Pasir China
Para wisatawan menaiki unta di padang pasir di Dunhuang di provinsi Gansu di China barat laut (10/8/2019). Dunhuang adalah sebuah kota tingkat kabupaten di barat laut provinsi Gansu, Tiongkok Barat. (AFP Photo/Str)

Karena memiliki banyak murid di Tunisia, beberapa orang menjadi tidak senang dengan keberadaan Syekh Al-Syadzili. Salah satu orang yang tidak senang kepada beliau ialah hakim Abu Al-Qasim Al-Barra’. Rasa iri dan dengki mendorong dirinya menciptakan berbagai isu supaya para tokoh publik serta masyarakat umum ikut membenci dan mengucilkan Syekh Al-Syadzili.

Fitnah yang ia lontarkan di antaranya menyebut Syekh Al-Syadzili sebagai mata-mata Maroko yang datang ke Tunisia untuk menyebarkan paham Fatimiyah. Nasabnya yang tersambung ke Fatimah binti Rasulullah SAW dijadikan dalih yang menegaskan keterhubungan Syekh Al-Syadzili dengan Dinasti Fatimiyah tersebut.

Kabar bohong yang dihembuskan Al-Barra’ semakin panas, menyebabkan para penguasa Negeri gerah terusik. Akhirnya, sultan memanggil Syekh Al-Syadzili ke istana untuk didudukkan dalam persidangan dengan para ulama dan cendekiawan negeri.

Mereka bertanya-jawab terkait persoalan akidah, fikih, tasawuf, sampai masalah sosial dan politik. Selama proses tersebut sultan turut mendengarkan secara seksama di balik hijab. Mereka ingin membuktikan kebenaran keterkaitan Syekh Al-Syadzili dengan Dinasti Fatimiyah. Nyatanya, ia mampu menjawab setiap pertanyaan dengan cahaya ilmu dan keluhuran budi, hingga sultan beserta para petinggi pun meyakini kejujuran dan menghormati kualitas pribadinya.

Dilarang Beraktivitas di Luar Rumah

Antusiasme Umat Muslim Laksanakan Taraweh Pertama Ramadan 1445 Hijriah di Masjid Istiqlal Jakarta
Kementerian Agama (Kemenag) bersama perwakilan ormas-ormas dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan awal Ramadan 1445 Hijriah melalui Sidang Isbat yang digelar bersama di Jakarta, Minggu (11/3/2024) lalu. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Syekh Al-Syadzili berhasil lolos dari serangan fitnah tak berdasar yang nyaris mengancam jiwanya, namun pembencinya Al-Barra’ tetap gigih melakukan tipu daya agar Syekh Al-Syadzili dieksklusi. Sultan sempat terpengaruh, sehingga ia mengeluarkan perintah yang melarang Syekh Al-Syadzili beraktivitas di luar rumah. Sebagai tahanan rumah, Syekh Al-Syadzili tidak berputus asa. Ia terus mendekat, memohon, dan bermunajat kepada Allah dengan salah satu kutipan doa berikut:

“Wahai Zat yang Kursi (kekuasaan)-Nya meliputi langit dan bumi; Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dia Mahatinggi dan Mahabesar. Aku memohon – dengan penjagaan-Mu – iman yang menenangkan hati, sehingga tidak risau akan urusan rezeki dan tidak takut kepada makhluk.”

Allah kemudian memberikan pertolongan kepada kekasih-Nya tersebut. Syekh Al-Syadzili dibebaskan oleh Sultan dan para pejabatnya. Mereka mengakui ketulusan serta ketaqwaan sang mursyid yang tidak memiliki kepentingan apapun, apalagi politik dinasti.

Selamat dari Fitnah Keji Berkah Cahaya Ilmu dan Doa

Ilustrasi doa, Islami, Muslim. (Photo by Masjid MABA on Unsplash)
Ilustrasi doa, Islami, Muslim. (Photo by Masjid MABA on Unsplash)

Akan tetapi, sepak terjang Al-Barra’ yang ingin menjatuhkan Syekh Al-Syadzili belum berhenti di situ. Saat Syekh Al-Syadzili bermaksud melakukan perjalanan ke tanah suci Mekkah dengan melewati jalur Mesir, penguasa Mesir telah disurati terlebih dahulu oleh Al-Barra’ agar berhati-hati dengan keberadaan Syekh Al-Syadzili yang didesuskan sebagai pendukung Dinasti Fatimiyah dan berniat melakukan aksi pemberontakan di negerinya itu.

Singkat cerita, Sultan Mesir yang waspada terhadap ancaman keamanan negerinya tidak mengabaikan begitu saja surat peringatan tersebut. Meskipun, dia sendiri pun tak mau sepenuhnya percaya sebelum mengetahui siapa Syekh Al-Syadzili dan apa sebenarnya yang terjadi.

Kabar kedatangan Syekh Al-Syadzili di Mesir disambut oleh sultan dengan undangan makan kehormatan di istana beliau. Sultan bersama para ulama dan pembesar negeri berbincang dengan Syekh Al-Syadzili dalam rangka penyelidikan. Hasilnya, mereka pun terkesan dengan keilmuan dan kharisma spiritual Ulama Sufi tersebut. Menyadari sepenuhnya bahwa sang syekh hanya sebagai korban kedengkian dan tuduhan dusta hakim agung Tunisia.

Perjalanan hidup Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili sebagai seorang pemimpin agama maupun mursyid tasawuf membawanya sebagai tokoh Sufi terkemuka di mana para murid serta pengikutnya makin melimpah ruah dari negeri ke negeri, melintasi generasi ke generasi.

Namun demikian, ketika manusia semakin banyak yang mencintai, maka akan bermunculan juga yang membenci. Itu adalah hukum alam. Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili sendiri dengan keimanannya menyadari bahwa kedengkian dan fitnah yang dihadapi merupakan ketentuan Allah yang harus dijalani sebagai bagian dari tangga-tangga rohani demi mencapai hakikat keilahian.

Tiap pengalaman pahit yang dihadapi manusia, terutama terkait hubungan dengan manusia lain sejatinya perlu dimaknai sebagai cara Tuhan untuk membersihkan hati, menjauhkan dari kecenderungan dan ketergantungan terhadap makhluk manusia.

Bahwa hanya Allah yang pantas menempati singgasana hati manusia. Dengan demikian, rasa sakit yang ditimbulkan akibat perilaku fitnah, amarah, kecewa, dengki, dan dendam orang lain terhadap kita justru akan membantu meluruhkan kotoran-kotoran hati kita sendiri sejauh kemampuan kita dalam sabar dan tawakal.

Inilah kisah teladan Sang Wali, Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili yang sekaligus hal ini membuktikan kemuliaan atau karomahnya, sebab berkah ilmu pengetahuan dan doa yang tak henti beliau panjatkan membuatnya selamat dari ujian berupa fitnah yang keji.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya