Bukan Banyaknya Harta, Ini Kunci Kebahagiaan Sejati Menurut Ustadz Adi Hidayat

Banyak yang berasumsi soal sumber kebahagiaan, ada yag menyebut harta, ada juga kedudukan, pangkat, begini menurut Ustadz Adi Hidayat, yang mencontohkan Bilal bin Rabah.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Agu 2024, 10:30 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2024, 10:30 WIB
uah 222
Ustadz Adi Hidayat (UAH) (TikTok)

Liputan6.com, Jakarta - Mendapat banyak uang bisa membuat bahagia. Mendapat harta banyak juga bahagia.

Jika demikian sumber kebahagiaan bisa saja dari uang dan harta. Sebaliknya, tidak ada uang dan harta pun sedih bingung tak karuan.

Memang benar bahwa uang dan harta dapat memberikan kebahagiaan tertentu, terutama dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan, serta memberikan rasa aman dan nyaman.

Lalu, bisakah disimpulkan, kebahagiaan bergantung kepada uang dan harta seperti hal di atas?

Menjewab persoalan yang umum di masyarakat ini, dalam sebuah vido pendek yang berisi ceramah yang dikutip kanal YouTube @Islam_Channel-e3h, Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan penjelasan soal arti kebahagiaan dalam perspektif Islam.

Menurut ulama muda yang akrab disapa UAH ini, kebahagiaan sejati bukanlah hasil dari materi dunia, kekayaan, atau status sosial.

“Syarat pertama bahagia itu ternyata bukan materi dunia, bukan uang, bukan kedudukan, bukan kemewahan,” ujar Ustadz Adi Hidayat memulai penjelasannya dalam video pendek tersebut.

Ia menjelaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat diukur dengan kekayaan atau status sosial seseorang.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Kutipan Surat yang Pas Menjawab Persoalan

Ilustrasi emas harta karun
Ilustrasi emas harta karun (iStock)

UAH mengutip ayat dari Al-Qur’an Surah Al-Baqarah, ayat 189, yang berbunyi,

سـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِاَنْ تَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقٰىۚ وَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَاۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

yas'alûnaka ‘anil-ahillah, qul hiya mawâqîtu lin-nâsi wal-ḫajj, wa laisal-birru bi'an ta'tul-buyûta min dhuhûrihâ wa lâkinnal-birra manittaqâ, wa'tul-buyûta min abwâbihâ wattaqullâha la‘allakum tufliûn

Artinya: Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

"Tingkatkan takwamu kepada Allah.” Ustadz Hidayat menekankan bahwa kebahagiaan yang hakiki bisa dicapai dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah.

“Supaya engkau cepat bahagia, tingkatkan ketakwaan kepada Allah,” ujarnya.

 

UAH Kutip Kisah Bilal bin Rabah yang Menolak Jadi Hakim Agung

nilai rupiah melemah terhadap dollar
Ilustrasi uang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ustadz Adi Hidayat memberikan contoh nyata dari kehidupan sahabat Nabi Muhammad SAW, Bilal bin Rabah. Meskipun Bilal memiliki harta yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Sayidina Utsman bin Affan.

“Bilal itu uangnya lebih sedikit dibandingkan dengan Sayidina Utsman bin Affan, tapi bahagia,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa Bilal bin Rabah, meskipun hanya adzan setiap hari, hidupnya penuh kebahagiaan. “Bayangkan Bilal cuma adzan tiap hari, adzan Allahu Akbar Allahu Akbar, tapi hidupnya bahagia,” ungkap Ustadz Hidayat.

Menurut Ustadz Hidayat, kebahagiaan Bilal terlihat jelas ketika ia menolak tawaran untuk menjadi hakim agung setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

“Ditawari sepeninggal Nabi menjadi hakim agung, hartanya banyak, uangnya banyak, rumahnya megah, hidupnya mewah,” jelasnya.

Ustadz Hidayat menambahkan bahwa meskipun Bilal memiliki kesempatan untuk hidup dalam kemewahan, ia memilih untuk mempertahankan sanad adzannya dari Nabi SAW. “Bilal kemudian pergi bersembunyi supaya tidak menjadi hakim agung, bersembunyi untuk mempertahankan sanad adzannya dari Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam,” ujarnya.

UAH mengingatkan bahwa kemewahan dan kekayaan belum tentu mendatangkan kebahagiaan yang sejati. “Jadi ternyata kemewahan itu belum tentu mendatangkan kebahagiaan,” kata Ustadz Hidayat.

Hal ini menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak selalu berhubungan dengan materialisme atau kemewahan. Menurut UAH, kebahagiaan sejati datang dari kedekatan dengan Allah dan kehidupan yang penuh dengan amal kebaikan.

“Kebahagiaan sejati datang dari kedekatan dengan Allah dan kehidupan yang penuh amal kebaikan,” jelasnya.

Ia juga menekankan bahwa ketakwaan dan hubungan yang baik dengan Allah lebih penting daripada segala bentuk kemewahan duniawi.

“Hubungan baik dengan Allah dan ketakwaan adalah kunci kebahagiaan, lebih penting daripada segala bentuk kemewahan duniawi,” ujarnya.

Dalam ceramahnya dengan mengingatkan bahwa bahagia adalah hasil dari iman dan amal shalih, bukan dari harta atau status.

“Bahagia itu adalah hasil dari iman dan amal shalih, bukan dari harta atau status,” tutupnya.

Dalam kesimpulannya, Ustadz Adi Hidayat menegaskan bahwa kebahagiaan sejati adalah ketika seseorang dapat merasa puas dan bahagia dengan apa yang dimilikinya sambil terus meningkatkan ketakwaan kepada Allah. “Kebahagiaan sejati adalah ketika kita merasa puas dan bahagia dengan apa yang kita miliki sambil terus meningkatkan ketakwaan kepada Allah,” katanya.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya