Liputan6.com, Jakarta - Konsep tentang harta dalam rumah tangga kerap menimbulkan perdebatan. Sebagian beranggapan bahwa ketika sudah menikah, semua harta menjadi milik bersama, tanpa memandang siapa yang mencari.
Tak jarang pula muncul ungkapan, “Uang suami milik istri, uang istri tetap milik istri.” Benarkah pandangan seperti itu dalam Islam?
Dalam ceramah yang dinukil dari kanal YouTube @buyayahyaofficial, pengasuh Ponpes Al-Bahjah Cirebon KH Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya menjawab secara lugas dan mendalam tentang konsep kepemilikan harta dalam rumah tangga menurut Islam.
Advertisement
“Islam itu menjaga hak-haknya. Seorang istri tetap punya hak, suami juga punya hak. Istri punya warisan, hadiah, atau hasil kerja, itu milik istri. Suami juga punya harta sendiri, itu milik suami,” tegas Buya Yahya.
Buya Yahya menegur sikap suami yang merasa berhak atas semua yang dimiliki istri hanya karena status pernikahan. Menurutnya, suami seperti itu kurang memahami ajaran agama.
“Kalau suami bilang, ‘Kamu istriku, jadi milikmu adalah milikku,’ itu suami dungu. Nafkah yang dikasih suami, ya sudah jadi milik istri. Tapi istri juga jangan nakal, terus merasa semua uang suami adalah miliknya,” lanjutnya.
Ada istri yang bersikap tidak adil dalam hal ini, bahkan menganggap uang pribadi milik suami juga otomatis menjadi miliknya. Buya Yahya mengingatkan, ini bukan ajaran yang benar.
“Biasanya yang bilang begitu itu istri agak nakal-nakal. Senyum-senyum itu, jangan-jangan termasuk juga. Uang suami ya uang suami, uang istri ya uang istri. Tapi memang suami wajib memberi nafkah, sedangkan istri tidak wajib memberikan nafkah kepada suami,” jelasnya.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Menyinggung soal Warisan
Pembahasan kemudian berlanjut pada masalah warisan. Buya Yahya menegaskan bahwa ketika seseorang meninggal, maka yang dibagikan adalah harta miliknya, bukan milik bersama jika tidak disepakati sejak awal.
“Kalau suami meninggal dunia, ya yang diwarisi adalah harta milik suami. Istri dan anak-anak dapat bagian. Kalau istri yang meninggal, yang diwarisi ya hartanya istri. Suami dan anak-anak mendapat bagian,” ujarnya.
Ia mengkritik keras anggapan bahwa harta tidak boleh dibagi selama pasangan masih hidup. Menurutnya, ini hanya menunda hak yang semestinya segera diberikan.
“Kalau ayah meninggal dunia, segera dibagi waris. Jangan bilang, ‘Jangan dibagi, ibu masih ada.’ Itu bahasa yang jahat. Emangnya ibu pasti wafat duluan dari kita?” sindir Buya Yahya.
Terkadang muncul penolakan dari anggota keluarga untuk membagikan warisan dengan alasan menghormati yang masih hidup. Namun sikap ini justru bisa menjadi dosa besar jika dilakukan dengan niat buruk.
“Ibu bisa saja meninggal belakangan. Jangan pakai alasan ‘Ibu masih ada, jangan dibagi.’ Itu hanya menunda hak orang lain. Warisan ayah harus dibagi, ibu juga dapat bagian,” tambahnya.
Buya Yahya menyoroti praktik pembagian harta gono-gini yang kerap dilakukan dalam perceraian atau kematian. Menurutnya, konsep itu tidak dikenal dalam Islam.
“Gono-gini itu tidak ada dalam Islam. Pembagian warisan sudah diatur jelas dan adil. Kalau suami meninggal, lalu istri minta separuh dulu baru sisanya dibagi, itu berarti dia merebut jatah anak-anaknya,” katanya tegas.
Advertisement
Jujurlah sejak Awal Terhadap Pasangan
Ia mengajak setiap pasangan untuk jujur sejak awal jika memang memiliki kesepakatan harta bersama. Namun bila tidak, maka harus mengikuti aturan Islam dalam pembagian waris.
“Kalau memang kerja bareng dari awal, bangun rumah bersama, ya itu disebut harta bersama. Tapi kalau tidak, jangan akui harta milik pasangan sebagai milik sendiri. Itu zalim,” jelas Buya Yahya.
Masalah semakin rumit ketika salah satu pasangan mengatasnamakan harta atas nama yang lain demi kepraktisan. Buya Yahya menegaskan bahwa ini bisa menjadi sumber konflik jika tidak disikapi dengan jujur.
“Kalau suami bilang, ‘Tanah ini punya saya, tapi atas nama istri dulu,’ itu artinya pinjaman nama. Jangan kemudian istrinya ngaku-ngaku punya padahal bukan. Itu kejahatan halus,” katanya.
Ia mengingatkan agar umat Islam tidak mempermainkan hak milik, apalagi dalam perkara warisan. Semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
“Jangan bohong soal harta. Kita punya Hakim Yang Maha Adil. Jangan ambil warisan saudara. Bahkan ambil gelas, karpet, sendok tanpa izin saja termasuk mencuri,” ujar Buya Yahya.
Perilaku mengambil warisan secara sepihak, bahkan benda-benda kecil, menurut Buya Yahya, bisa membuat hati keras dan sulit menerima kebenaran. Hati yang keras akan menggiring pada maksiat lainnya.
“Kalau sudah berani ngambil harta warisan tanpa hak, itu bikin hati keras. Nanti ibadah pun jadi rusak. Haji, umrah, sholat, bisa sia-sia karena memakan yang haram,” katanya memperingatkan.
Buya Yahya menutup penjelasannya dengan harapan agar umat Islam menjaga kejujuran dan tidak membiarkan urusan harta memecah belah keluarga. Warisan seharusnya jadi jalan berkah, bukan sumber permusuhan.
“Semoga Allah jaga hati kita. Jangan sampai permusuhan dengan saudara muncul hanya karena warisan. Mari beradab dan berilmu dalam menyikapi harta peninggalan,” tutupnya.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
