Liputan6.com, Jakarta - Kisah unik Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tentang gaji pertama saat menjabat sebagai presiden menjadi perbincangan menarik. Kala itu, ia menunjukkan sikap yang tidak biasa dan penuh kelakar, mengundang decak kagum sekaligus tawa dari para pejabat sekitarnya.
Dalam tayangan video di kanal YouTube @Fakta_Bray, Mahfud MD, yang kala itu menjadi Menteri Pertahanan, mengenang momen tersebut dengan jelas.
Advertisement
Mahfud menceritakan bahwa Gus Dur langsung menandatangani bukti penerimaan gaji pertamanya tanpa ragu. Namun, tindakan berikutnya justru mencerminkan sisi khas Gus Dur.
Advertisement
Setelah tanda tangan, Gus Dur langsung menyerahkan gaji tersebut kepada Alwi Shihab, Menteri Luar Negeri kala itu.
"Kamu harus membeli jas yang bagus. Menteri luar negeri jangan memalukan," tutur Gus Dur, seperti yang dikisahkan Mahfud dalam bukunya Setahun Bersama Gus Dur: Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit.
Tindakan spontan itu mencerminkan karakter Gus Dur yang ringan tangan sekaligus penuh humor. Mahfud menjelaskan, Gus Dur sering kali menggunakan gajinya untuk membantu orang-orang di sekitarnya, terutama para menterinya.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
AS Hikam Disuruh Beli Sepatu
Profesor AS Hikam, yang saat itu menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi, juga pernah merasakan kebaikan hati Gus Dur. Suatu hari, Gus Dur melihat sepatu AS Hikam yang sudah usang. Tanpa pikir panjang, ia berkata, "Nih, beli sepatu dan jas. Masa menristek sepatunya jelek," ucap Gus Dur sembari tertawa.
Kisah lain datang dari asisten Gus Dur, Arifin Junaidi, yang sering dibuat penasaran dengan kebiasaan sang presiden. Suatu kali, Arifin memberanikan diri bertanya mengapa Gus Dur selalu memberikan gajinya kepada orang lain. Pertanyaan itu dijawab dengan gaya santai khas Gus Dur.
"Ya sudah, gaji bulan berikutnya untuk kamu saja," ujar Gus Dur, membuat Arifin terkejut dan merasa kikuk. Ia segera menjelaskan bahwa maksud pertanyaannya bukan untuk meminta gaji.
Namun, Gus Dur menambahkan penjelasan yang membuat Arifin lebih kagum. "Lah, semua kebutuhan saya sudah disediakan istana. Saya enggak butuh apa-apa. Biar dipakai yang butuh saja," imbuhnya dengan nada ringan.
Cerita-cerita semacam ini menunjukkan sisi kemanusiaan Gus Dur yang jarang terlihat dari seorang kepala negara. Sikapnya yang tulus dalam membantu bawahan dan kepekaannya terhadap kebutuhan orang lain mencerminkan nilai-nilai luhur yang dipegang teguh selama hidupnya.
Menurut Mahfud MD, Gus Dur tidak pernah memandang jabatannya sebagai alat untuk menumpuk kekayaan. Justru, ia menggunakan apa yang dimilikinya untuk berbagi kepada orang-orang di sekitarnya.
Advertisement
Gus Dur Sosok Sulit Dilupakan
Sikap Gus Dur yang selalu memprioritaskan kepentingan orang lain di atas kebutuhan pribadinya menjadi teladan bagi para pemimpin. Ia tidak hanya menjadi pemimpin negara, tetapi juga seorang teman dan sosok yang merakyat.
Mahfud juga menambahkan bahwa Gus Dur tidak pernah ragu untuk bercanda atau melontarkan komentar jenaka, bahkan dalam situasi formal. "Tapi dari situ, kami semua belajar banyak," ungkapnya.
Banyak yang mengenang Gus Dur sebagai sosok yang tidak biasa. Ia kerap membuat keputusan spontan yang kadang sulit dipahami, namun selalu penuh makna. Salah satunya adalah bagaimana ia memandang gajinya sebagai sesuatu yang lebih bermanfaat jika dibagikan kepada orang lain.
Tindakan-tindakan kecil namun bermakna dari Gus Dur ini meninggalkan kesan mendalam di hati banyak orang. Hingga kini, kisah-kisahnya terus diceritakan sebagai inspirasi dan pelajaran.
Bagi Mahfud MD dan para menteri yang pernah bekerja bersamanya, Gus Dur adalah sosok yang sulit dilupakan. Ia bukan hanya seorang pemimpin, tetapi juga pribadi yang hangat, dermawan, dan apa adanya.
Kisah tentang gaji pertama Gus Dur ini hanyalah salah satu dari sekian banyak cerita yang menunjukkan kepribadian uniknya. Ia berhasil membuktikan bahwa seorang presiden pun tetap bisa rendah hati dan penuh kepedulian.
Bagi masyarakat Indonesia, Gus Dur tetap menjadi teladan tentang bagaimana menjadi pemimpin yang melayani, bukan dilayani. Sosoknya akan selalu dikenang sebagai simbol keadilan, kebijaksanaan, dan cinta terhadap sesama.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul