Liputan6.com, Jakarta - Pernikahan dalam Islam memiliki aturan yang jelas, salah satunya terkait mahar yang diberikan kepada mempelai wanita. Namun, ada perbedaan mencolok antara tradisi di Indonesia dan di negara-negara Arab dalam menentukan mahar pernikahan.
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha mengungkapkan bahwa dirinya sampai bosan menikahkan pasangan dengan mahar yang sama, yakni seperangkat alat sholat dan uang Rp 100 ribu.
Advertisement
Dalam sebuah ceramah, Gus Baha menjelaskan bahwa di negara-negara Arab, mahar pernikahan bisa mencapai jumlah yang sangat besar, mulai dari mobil mewah hingga gedung. Hal ini menyebabkan perdebatan ketika terjadi perceraian.
Advertisement
"Gara-gara mahar yang besar, setelah hubungan suami istri lalu cerai, kadang ada yang kepikiran untuk mengambil kembali mahar tersebut. Misalnya kalau maharnya Alphard atau uang Rp1 miliar, tentu ada yang ingin menariknya lagi," ujar Gus Baha dalam tayangan video di kanal YouTube @ghazalianschool.
Ia menambahkan bahwa karena kasus semacam itu sering terjadi, maka dalam Al-Qur'an terdapat larangan untuk mengambil kembali mahar yang sudah diberikan. Dalam surat An-Nisa ayat 20, Allah berfirman agar suami tidak menarik kembali mahar yang telah diberikan kepada istri.
Menurut Gus Baha, kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Mahar yang diberikan umumnya sederhana, seperti seperangkat alat sholat atau uang dalam jumlah kecil.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Kalau Al-Quran Turun di Indonesia, Ayatnya Bisa Beda
"Kalau di Indonesia maharnya cuma seperangkat alat sholat, uang Rp 100 ribu, enggak akan ada yang mau ngambil lagi. Wong setelah 10 tahun pernikahan, seperangkat alat sholat itu bentuknya sudah seperti apa," ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa hukum Islam yang turun di Arab memiliki konteks budaya yang berbeda dengan Indonesia. Di Arab, mahar yang besar bisa menjadi sumber masalah, sedangkan di Indonesia tidak demikian.
"Andai saja Al-Qur'an turun di Indonesia, mungkin ayatnya bukan 'fala ta’khudzu minhu syai’aan' (jangan ambil kembali sedikit pun dari mahar itu), tapi mungkin 'jangan ambil seperangkat alat sholat yang sudah usang'," selorohnya, yang ditimpalitawa jemaah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa hukum Islam selalu beradaptasi dengan kondisi masyarakat setempat. Tradisi yang berkembang di Arab tidak selalu berlaku di Indonesia, sehingga tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur'an pun harus mempertimbangkan konteks budaya.
Gus Baha juga menegaskan bahwa perbedaan ini menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dalam penerapan hukumnya. Setiap daerah memiliki adat yang berbeda, dan hal itu tetap sah selama tidak bertentangan dengan syariat.
Meskipun begitu, ia tetap mengingatkan bahwa mahar dalam Islam memiliki peran penting sebagai bentuk penghormatan kepada mempelai wanita. Besar atau kecilnya mahar tidak menentukan sahnya pernikahan, tetapi lebih kepada niat dan keikhlasan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
"Intinya, mahar itu simbol penghormatan. Kalau dikasih besar ya alhamdulillah, kalau kecil ya tetap harus diterima dengan ikhlas," ungkapnya.
Dalam banyak kasus, pasangan di Indonesia lebih menekankan kesiapan mental dan tanggung jawab dalam pernikahan dibandingkan besaran mahar yang diberikan.
Advertisement
Mahar di Arab Jadi Beban
Hal ini berbeda dengan di negara-negara Arab yang masih menjadikan mahar sebagai tolok ukur ekonomi seorang pria. Semakin besar maharnya, semakin dianggap terhormat seorang wanita dalam pernikahan.
Namun, Gus Baha juga menyoroti bahwa tingginya mahar di negara-negara Arab sering kali menjadi beban bagi calon suami, bahkan membuat banyak pria kesulitan untuk menikah.
Sebaliknya, di Indonesia, kemudahan dalam menentukan mahar justru membuat pernikahan lebih mudah dilakukan tanpa tekanan ekonomi yang berlebihan.
Meski demikian, ia tetap mengingatkan bahwa suami memiliki kewajiban menafkahi istri setelah pernikahan berlangsung. Mahar hanyalah bagian kecil dari kewajiban yang lebih besar dalam rumah tangga.
Menurutnya, banyak pasangan yang justru tidak memahami makna sesungguhnya dari mahar. Ada yang menganggapnya sekadar formalitas, padahal dalam Islam, mahar adalah hak istri yang harus dihormati.
Di sisi lain, Gus Baha juga mengapresiasi tradisi di Indonesia yang tidak membebani calon suami dengan mahar tinggi. Hal ini membuat pernikahan lebih mudah dijangkau oleh semua kalangan.
Ia menegaskan bahwa ajaran Islam selalu mempermudah urusan umatnya, termasuk dalam hal pernikahan. Sehingga, selama tidak melanggar syariat, tidak ada masalah dengan besaran mahar yang diberikan.
"Yang penting niatnya baik, rumah tangga harmonis, dan suami bertanggung jawab. Itu jauh lebih penting daripada sekadar besaran mahar," pungkasnya.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)