Liputan6.com, Jakarta Pada tahun 2011 label IKAT Indonesia berdiri. Dibalik label ini ada nama seorang desainer yang sukses berkiprah di dunia fesyen Indonesia. Ialah Didiet Maulana yang mengapreasiasi kain-kain tradisional Indonesia dengan sentuhan kreativitas pada rancangan-rancangannya.
Ditemui liputan6.com di butiknya yang terletak di Jalan Dempo 1 No.59, Kebayoran Baru, Jakarta pada Rabu (7/5/2014), Didiet Maulana menceritakan kisah perjalanan karirnya hingga sampai ke dunia fesyen. Berikut adalah hasil wawancaranya.
Baca Juga
Apa ketertarikan pada fesyen sudah muncul sejak kecil?
Advertisement
Sejak kecil saya suka gambar. Di umur 4 tahun saya juara lomba gambar se-DKI. Pada waktu itu gambarnya masih seperti gambar anak-anak biasanya, seperti gunung, laut, dan lain-lain. Semakin lama, ketertarikan dalam menggambar semakin mengarah pada fesyen.
Jika dirunut ke belakang sesungguhnya ketertarikan terhadap fesyen sudah mulai tumbuh saat melihat nenek memakai kebaya dan merawat kain-kain batik. Setiap minggu saya melihat nenek membakar ratus (dupa) yang berfungsi untuk menghilangkan ngengat dan membuat kain batik menjadi wangi.
Hal tersebut juga yang menumbuhkan minat khusus saya pada busana tradisional Indonesia. Meski keluarga kami sangat urban, kami selalu mengadakan acara adat pada hari-hari spesial, misalnya saat ada kelahiran anak.
Bagaimana Anda bisa sampai ke dunia fesyen?
Setelah lulus SMA, saya menempuh studi arsitektur di Universitas Parahyangan. Jurusan ini saya ambil karena selain suka seni, saya juga suka teknik. Menurut saya pada bidang arsitektur, seni dan teknik bergabung. Saat itu memang belum terlintas di benak saya untuk terjun ke dunia fesyen. Meski demikian, semasa kuliah saya sudah merancang baju untuk teman-teman kuliah.
Setelah lulus kuliah, saya kerja di MTV bagian talent & artist relation. Saya keja di sana selama 4 tahun. Kemudian saya pindah ke sebuah perusahaan ritel fesyen yang menaungi label-label internasional seperti GAP, Banana Republic dan lain sebagainya. Di sana saya bekerja di bagian Marketing Communication selama 7 tahun.
Seiring berjalannya waktu tumbuh keinginan untuk membangun bisnis sendiri yang bernafaskan budaya Indonesia. Passion saya memang untuk melihat sejarah budaya Indonesia, khususnya busana tradisional Indonesia. Saya tidak terlalu tertarik untuk merancang busana-busana moderen.
Oleh karena itulah saya memilih tenun ikat sebagai fokus bisnis. Pada saat itu saya melihat belum banyak orang yang mengenalkan dan mengolah tenun ikat. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya untuk mengenalkan tenun ikat pada masyarakat luas.
Bagaimana pengalaman Anda berpindah dari bidang arsitektur ke fesyen?
Menurut saya yang berbeda antara arsitektur dan fesyen hanyalah medianya saja di mana arsitektur menggunakan material bangunan sedangkan fesyen menggunakan bahan pakaian. Di atas perbedaan itu, fesyen dan arsitektur memiliki persamaan mendasar.Arsitektur dan fesyen memiliki dasar yang sama, yaitu bahwa dalam merancang harus punya konsep yang kuat.
Sampai saat ini ketertarikan saya terhadap arsitektur masih ada dan akan selalu ada. Butik ini pun saya yang desain. Konsep butik ini adalah minimalis ala Indonesia. Artinya desain interiornya dibuat minimalis namun tetap ada aksen-aksen penghias yang bernuansa tradisional.
Tapi jika ditanya mengenai karir, saat ini saya fokus di fesyen. Latar belakang pendidikan non-fesyen memang menjadi sebuah tantangan sendiri untuk berkarir di dunia fesyen. Dengan memiliki latar belakang pendidikan non-fesyen, saya harus bekerja dua kali lebih keras untuk meyakinakan klien bahwa saya memiliki kemampuan untuk merancang karya-karya busana.