Liputan6.com, Padang Parewa Limo Suku, Pertemukan Sirompak Dengan Realitas dan Pentas di KABA Festival 2
Sejatinya, karya seni tidak pernah jauh-jauh dari realitasnya. Fenomena dan problematika sosio-kultural masyarakat merupakan alasan sekaligus bahan mentah bagi seorang seniman untuk berkarya.
Maka, tugas pertama seorang seniman adalah berusaha membaca dan memahami realitas tersebut, barulah kemudian memilah, mengonsep dan mentransformasikannya ke dalam piranti-piranti estetik. ‘Cermin’ mengenai hakikat seni ini bisa dipakai untuk melihat karya-karya yang digarap Parewa Limo Suku, salah satu grup musik yang akan tampil pada Kaba Festival 2, 12 Desember 2015 mendatang.
Advertisement
Baca Juga
Dalam agenda tahunan di Ladang Tari Nan Jombang itu, mereka akan membawakan karya terbaru yang berjudul "Dek Garah Tumbuah Cakak".
Irmun Krisman, alumni ISI Padang Panjang sebagai komposer Parewa Limo Suku mengatakan, karya ini lahir dari kesehariannya yang sering berinteraksi dengan generasi muda.
“Karya ini berangkat dari fenomena muda-mudi, bagaimana mereka saling bercengkerama dan kemudian jatuh cinta,” ungkap Irmun, Sabtu (5/12/2015).
Persoalan yang selalu kita temui dalam keseharian itu, dengan berbagai bentuk dan situasinya, kemudian digubah kedalam bentuk musik pertunjukan, tambah Irmun.
“Kami menggunakan Sirompak sebagai bahan utama garapan kali ini,” jelasnya.
Instrumen, syair, dan dendang tradisi yang berasal dari daerah Taeh, Kabupaten Limo Puluah Koto tersebut memang identik dengan urusan percintaan.
Pelet Cinta
Seperti yang terbaca jelas dalam salah satu penggalan syairnya, “Anak angin, si rajo angin, nan hinggok di kayu mati, oh diak oi, bapasan den kabakeh angin, jagokan adiak nan lalok kini...” Jenis kesenian ini pada mulanya merupakan guna-guna (sejenis pelet ala Minangkabau) untuk menaklukan hati gadis pujaan, pembalasan untuk mereka yang menolak cinta dengan verbal dan kasar.
Dalam garapan ini, Parewa Limo Suku akan mengembangkan Sirompak ke dalam bentuk-bentuk yang lebih baru, tentu saja sesuai dengan pembacaan mereka terhadap realitas hari ini, baik itu dalam ranah sosio-kultural maupun pembacaan terhadap perkembangan seni.
“Jika terpaku hanya pada instrumen saja, akan sulit mengembangkan seni musik tradisi” ungkapnya.
Bahkan unsur-unsur musik pop, seperti beat box, juga akan dipakai untuk menggantikan instrument perkusi.
Sebagai sebuah seni pertunjukan, Parewa Limo Suku tidak hanya akan menggarap komponen-komponen musik saja, tapi juga akan dipadu-padankan dengan elemen-elemen lain, seperti tari dan teater, yang nantinya akan saling membangun narasi mengenai persoalan yang ingin mereka kemukakan tersebut.
Menurut Irmun, seni tradisi Minangkabau sudah sejak dulu merupakan gabungan-gabungan dari berbagai unsur, randai, dan indang adalah contohnya, sebelum ilmu pengetahuan modern memecah-mecah genre seni dalam pengertian-pengertian yang kaku.
Pencarian dan pengembangan bunyi dari instrumen-instrumen nonmusical juga dilakukan. “Pertunjukkan ini akan mencari bunyi pada kegiatan orang menganyam tikar pandan dan menjahit sulam,” tukasnnya.
kegiatan-kegiatan tersebut yang memang menghasilkan bunyi, akan coba diharmoniskan dan digabungkan dengan instrumen-instrumen musikal lainnya.
Seperti yang kita ketahui, seni tradisi di Minangkabau pada mulanya berawal dari rutinitas-rutinitas harian masyarakat, seperti pekerjaan-pekerjaan masyarakat yang agraris, kemudian menghasilkan instrumen pupuik dari batang padi atau dari daun kelapa.
Pada KABA Festival 2014, Irmun mengeksplorasi bunyi-bunyian saat orang sedang di sawah dalam pertunjukan Batampie Bareh.
Advertisement