Liputan6.com, Jakarta Kita akan bertemu. Membahas perasaanku yang tak pernah bertepi dan kerinduan yang selalu merasuk ke mimpi. Seperti apa rasamu padaku saat ini?
Di tempat makan ini semua jelas terlihat dari lantai dua. Jalan Margonda yang tampak seksi dengan kemacetan jam pulang, lalu lalang pejalan kaki sehabis turun dari stasiun pondok cina, mahasiswa dengan setumpuk buku di tasnya, dan seorang badut kesepian dengan kostum winnie the pooh sambil membawa kardus kotak yang kosong. Semantara di langit, matahari melelehkan warna jingga seperti es krim yang kita beli di toko waktu masih kuliah. Aku menunggumu di sini. Menunggu setia sambil melihat ke arah luar dan menyeruput teh tarik yang rasanya hambar.
Aku menunggumu di antara sisa panas siang, dan dingin malam yang masih malu-malu keluar. Aku menantikanmu di antara lalu lalang lamunan, masa lalu yang masih terkenang dan kata-kata yang nanti harus kukatakan. Teh tarikku jadi dingin. Tangan dan kakiku pun ikut dingin.
Advertisement
“Sudah sampai mana?”
“Di jalan kak. Kakak nunggu di mana?”
“Di lantai dua ya. Nggak usah buru-buru juga ya.”
“Oke.”
Waktu terasa begitu lambat berjalan. Sangat lambat serasa menyayat. Apalagi yang kukerjakan hanya menengok ke arah terbenamnya matahari, sambil sesekali melihat telepon genggam, memastikan tidak ada satu pesanmu yang terlambat kubalas. Lambat begitu lambat.
Baca Juga
Senja sudah mulai meredup, kau belum datang. Pengunjung sudah bergantian, begitu juga semrawut jalanan yang entah kapan terurai. Walau tak semrawut ingatan yang tumpang tindih dengan keinginan dan kenyataan. Aku ingin mendapatkanmu, tapi kenyataannya tak bisa. Mendadak ada yang terasa hancur.
Kau datang dengan suara sepatu yang menaiki tangga kayu. Ada seperti getaran yang membuatku bisa membedakan langkahmu dengan langkah kaki orang lain menaiki tangga. Dan sebelum wajahmu tampak aku sudah menoleh ke arah tangga lebih dahulu. Kau muncul, wajah sedikit pucat dengan senyum yang kurindu.
“Sudah lama kak?”
“Tidak juga.”
Aku tersenyum menjawabnya. Mungkin sudah terhitung dua jam semenjak teh tarik hambar ini datang ke meja. Dua jam berarti 120 menit, yang berarti 7200 detik. Dua jam sama juga dengan waktu tempuh dari Rawamangun ke Bekasi di waktu sibuk. Sama dengan waktu yang dihabiskan seseorang untuk membaca satu buah buku puisi, atau enam buah cerpen, atau dua bab sebuah novel. Dua jam tersebut pun belum dikalikan dengan perasaan waktu yang terasa begitu lambat. Tapi itu mendadak hilang ketika melihat senyum dan sepasang pipi tirusmu.
Kau duduk di depanku. Di seberang meja ini ada seseorang yang sejak lama ingin kudapatkan. Tidak hanya raga, tapi jiwa juga impian dan masa depan yang selalu kuanggap indah. Aku pun berangan jika kelak kita telah tua. Kita menjadi sepasang kekasih berambut perak yang menggoda semesta di sebuah senja dengan hal-hal yang sederhana; saling beradu pandang, memainkan jemari, dan membicarakan tentang tetangga yang tidak ada habisnya mengingatkan jika tak lagi muda. Bukankah semesta akan iri memandang kita jika seandainya angan itu jadi nyata?
“Kamu mau pesan apa?”
“Adanya apa?”
Angin berhembus perlahan, seolah tidak ingin mengganggu. Udara menjadi dingin dan kau menggunakan pakaian yang sedikit tipis. Kusarankan kau memesan sesuatu yang hangat. Makanan atau minuman yang bisa menghangatkanmu dari udara dan cuaca. Kau mengangguk dan memesan roti bakar. Kau memintanya harus hangat dengan nada yang ramah. Seperti anak kecil yang memesan permen kapasnya harus manis dan besar. Kau begitu manis.
“Bagaimana kabar jerapahmu?”
Kau menggelengkan kepala. Jerapah yang kumaksud ialah mantan pacarmu yang pertama. Kau menganggapnya ia seekor jerapah. Aku pun begitu. Mungkin sifat cueknya dan dingin wajahnya menggambarkan seekor binatang tertinggi di dunia tersebut. Di suatu pagi di bulan Oktober, kalian mengikatkan diri pada hubungan. Ketika itu aku baru saja terbangun, dan melihat sebuah kabar di sebuah sosial media dengan tampilan birunya.
“Padahal dia sabar loh.”
“Iya kak, dia sabar banget. Akunya saja yang sering sekali bikin masalah. Tapi dia bisa meredam semuanya.” Kau terkikik menceritakannya.
“Bahkan ketika aku menarik tanganmu. Mengajakmu makan es krim di depannya. Kau ingat itu?”
“Aku ingat.” Kau tertawa.
Ada semacam sihir di tawa dan senyummu dan karena itulah aku selalu jatuh hati padamu dari dulu hingga detik ini. Jantung terasa berdetak lebih cepat dari biasanya dan tanpa sadar sudah tiga detik aku menatapmu tanpa berkedip. Menatap dengan dalam, menatap dengan pengharapan seolah ingin mengatakan; jika orang inilah yang menginginkanmu sejak lama, ya mencintaimu sejak semula.
“Bagaimana denganmu kak?”
Aku tersadar dan mengatakan semua berjalan baik-baik saja dan masih tetap sama. Bumi masih berputar, matahari masih terbit dari timur dan terbenam di barat, matahari masih ada di atas dan tanah masih kuinjak. Segalanya baik-baik saja, dan masih tampak sama seperti sebelumnya. Begitu pun hati ini, masih sama saja seperti dulu, mengharapkanmu tanpa tepi.
“Kau masih mengharapkannya kembali?” ucapku.
Sesaat malah kau yang tampak termenung sekitar 2-3 detik. Matamu kosong di waktu yang serasa seabad itu. Di dua detik itupun aku bisa membayangkan dan menebak yang macam-macam tentang apa yang kau renungkan. Apakah tentang kenangan indah, ciuman manis pertama dan hangat, ataupun bahkan kebalikannya. Segala terasa berlompatan di kepalaku dengan cepat. Jemariku pun tanpa sadar mengetuk meja seolah menunggu jawaban. Di samping itu, aku berharap jika jawabanmu itu tidak. Tidak berharap lagi.
“Sudah tidak kak.”
Seolah ada angin mendisir seperti di pantai dari ucapanmu itu. Di sana pun seolah ada bintang-bintang di angkasa juga pantulannya. Beberapa camar terlihat terbang, dan di ujungnya sebuah mercusuar tegak berdiri walau sendiri sambil menanti pelaut pulang ke tepi. Kau terdiam sesaat lagi, aku masih terjebak lamunan.
“Kenapa?” Ucapku. Ternyata akulah yang lebih dahulu kembali ke dunia ini. aku menegur diammu.
“Mungkin bukan jodohnya."
Aku mengangguk. Ada perasaan senang yang harus ditutupi rapat hingga tampak biasa saja. Mungkin lebih baik jika aku membuat suasana lebih sendu lagi. Tapi mungkin itu akan terlihat agak jahat. Roti bakarmu sampai. Terlihat panas begitu sampai di meja. Untuk ukuran sepuluh menit sampai, pelayanannya sungguh cepat. Roti itu begitu mengoda. Kau memandangnya lebih dahulu, seolah berpikir harus dikoyak dari mana dulu roti bakar ini. Kau cicipi sekali lalu mengatakan suatu hal yang membuatku terkejut.
“Kau tahu kak? Wanita suka laki-laki yang nekat.”
“Maksudnya?”
“Laki-laki yang datang ke rumah lalu membicarakan hal yang serius tentang masa depan.”
“Lalu, kenapa kau mengatakan itu padaku?”
“Aku ingin kamu seperti itu.”
Aku tidak ingin meneruskan topik itu, dan kau pun meneruskan menyantap roti bakar di atas meja itu. Jika pria di posisi itu, bukankah akan mengalami hal yang sama. Terjebak pada kebingungan mozaik atau teka-teki yang diciptakan oleh perempuan. Bahkan oleh perempuan yang ia cintai. Bahkan jika pria itu adalah pria melankolis sepertiku. Alhasil aku lebih memilih menatapmu dalam dibanding berpikir keras arti dari percakapan barusan. Kau tersadar jika aku menatapmu.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
“Aku hanya berpikir.”
“Percakapan yang tadi?”
“Bukan.”
“Lalu apa?”
“Kenapa kamu bisa sekurus ini sekarang.”
“Tolong kak, kamu jangan kurang ajar.”
Sekejab aku tertawa dan kau mengelembungkan pipimu seperti ikan buntal.
Nur Hawatip, Seorang guru dan pekerja di Bengkel Sastra UNJ. Museum Hujan jadi kumpulan puisinya yang terbit di 2014.