Liputan6.com, Jakarta - Umat Nabi Muhammad dikenal sebagai umat yang paling dimuliakan. Di antara semua umat Rasulullah SAW, menurut ulama santri Mbah Maimoen Zubair, KH Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang akrab disapa Gus Baha, ada satu kelompok yang merasakan kenyamanan lebih dibanding yang lain, yakni mereka yang mau ngaji.
Gus Baha menjelaskan bahwa kenyamanan dalam menjalani agama sangat ditentukan oleh kesiapan akal dan ilmu. Dalam konteks ini, umat Nabi Muhammad dinilai paling bisa menggunakan logika mereka untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama.
"Umat Nabi itu orang yang paling bisa berlogika, terutama ulama-ulamanya," ujar Gus Baha dalam sebuah ceramah yang dibagikan kepada publik.
Advertisement
Ulama asal Narukan, Rembang ini menekankan bahwa warisan kenabian tidak hanya berupa ritual, tetapi juga berupa kemampuan berpikir yang mendalam. Oleh karena itu, ulama yang sejati adalah mereka yang mampu menghidupkan tradisi berpikir kritis sebagaimana diajarkan para nabi.
Bagi Gus Baha, inti dari kenyamanan dalam beragama justru lahir dari aktivitas mencari ilmu. Dan kenyamanan tertinggi dirasakan oleh mereka yang bersedia duduk mengaji, membuka akal dan hatinya untuk memahami kebenaran agama.
“Makanya umatnya Nabi itu paling nyaman, terutama sing gelem ngaji,” kata Gus Baha dalam ceramahnya.
Dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @Ngaji_Hati yang dikutip pada Rabu (16/04/2025), penjelasan Gus Baha menyentuh dimensi spiritual sekaligus rasional dari Islam.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Wiridan Tanpa Ngaji, Bisa Jadi Melahirkan Khayalan
Menurut Gus Baha, sekadar berdzikir atau wiridan tanpa dasar ilmu yang kuat, justru bisa membawa seseorang kepada kekeliruan dalam beragama. "Wiridan itu kalau tidak ada ngajinya, itu kadang melahirkan khayal," tegasnya.
Inilah sebabnya mengapa para ulama terdahulu sangat berhati-hati dalam mendidik muridnya. Mereka tidak langsung mengarahkan untuk memperbanyak wirid sebelum murid memahami dasar-dasar ilmu agama terlebih dahulu.
Gus Baha menyampaikan bahwa proses mencari ilmu harus dimulai dari berpikir atau nadhor. Dalam tradisi Islam, nadhor berarti menggunakan akal untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah dan eksistensi-Nya.
Dari nadhor ini, seseorang akan sampai pada makrifat, yaitu pengenalan yang benar terhadap Tuhan. Setelah makrifat, barulah seseorang boleh masuk ke ranah ilmu yang lebih dalam.
Gus Baha kemudian mengutip ayat: fa'lam annahu laa ilaaha illallah, yang berarti "Ketahuilah bahwa tiada Tuhan selain Allah", sebagai bukti bahwa ilmu harus mendahului keyakinan dan amal.
Dengan kata lain, istighfar pun baru dianggap sah jika didasari pemahaman tauhid yang benar. Ini menunjukkan betapa pentingnya fondasi ilmu sebelum beramal dalam Islam.
Kesalahan dalam memahami agama bisa terjadi jika seseorang hanya mengandalkan wiridan atau dzikir tanpa dasar ilmu yang kokoh. Bahkan, menurut Gus Baha, bisa muncul khayalan-khayalan yang menyesatkan.
Advertisement
Ngaji Itu Vital
Oleh karena itu, ngaji menjadi kegiatan yang sangat vital. Bukan sekadar rutinitas, tapi sebagai jalan berpikir dan jalan untuk mengenal Allah secara benar.
Tradisi ngaji yang diwariskan para ulama Nusantara sejatinya adalah upaya untuk menjaga keseimbangan antara akal dan hati dalam beragama. Dan inilah warisan yang harus terus dilestarikan.
Dalam konteks zaman sekarang yang penuh informasi dan distraksi, ajakan untuk kembali mengaji menjadi sangat relevan. Ngaji bukan hanya untuk menambah wawasan, tapi juga untuk menjaga kesehatan rohani.
Gus Baha berharap umat Islam tidak tergesa-gesa dalam beramal sebelum memahami ilmunya. Karena ilmu yang benar akan membimbing amal menuju ketepatan dan kemurnian.
Ngaji juga bukan hanya milik para santri di pesantren. Semua umat Nabi Muhammad, baik tua maupun muda, memiliki kewajiban untuk terus belajar.
Dengan ngaji, seseorang tidak hanya akan merasa nyaman dalam beragama, tetapi juga lebih siap dalam menghadapi persoalan hidup, baik dunia maupun akhirat.
Terakhir, Gus Baha mengajak agar setiap umat Islam memulai langkahnya dalam agama dari ilmu. Sebab, tanpa ilmu, jalan menuju Tuhan bisa menjadi kabur dan penuh dugaan yang menyesatkan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
