Liputan6.com, Jakarta Dalam gejolak ekonomi dan politik para pemimpin dunia, beberapa politisi perempuan hadir dan memiliki peran menonjol dalam kepemimpinan mereka. Seperti penunjukan Theresa May sebagai perdana Menteri Inggris yang digambarkan sebagai fenomena glass cliff atau tebing kaca.
Tebing kaca mengacu pada kecenderungan bagi para perempuan untuk lebih mungkin diangkat dalam kepemimpinan yang berisiko dan berbahaya ketimbang pria seperti dilansir dari Forbes.com, Sabtu (23/7/2016).
Salah satu bukti fenomena tebing kaca adalah studi dari Ryan dan Haslam yang menyelidiki perubahan harga saham bulanan perusahaan FTSE100 di Bursa London. Studi ini meneliti fluktuasi harga saham, sebelum pengangkatan pimpinan baru baik laki-laki dan perempuan.
Advertisement
Sebelum penunjukkan pria, perusahaan mengalami kinerja stabil, sementara lima bulan sebelum penunjukkan pimpinan wanita, perusahaan cenderung menunjukkan harga saham yang anjlok.
Analisis ini menunjukkan di saat kinerja perusahaan buruk, wanita memiliki lebih banyak keuntungan dalam memimpin, seperti penelitian yang dilakukan Eagly dan Carli pada 2003.
"Sebenarnya penelitian di atas tidak membantu saat membicarakan ciri-ciri wanita dan pria sebagai pemimpin. Namun ada bukti yang menunjukkan stereotip perempuan terlihat lebih dibutuhkan dan menolong saat krisis," papar Profesor Psikologi Universitas Exeter, Michelle Ryan.
Profeson Ryan juga telah melakukan studi dari arsip penelitian tentang topik kepemimpinan wanita. Kesimpulannya adalah perempuan lebih memungkinkan untuk diberi kesempatan memimpin saat posisi berisiko dan berbahaya. Salah satunya karena jumlah pemimpin wanita lebih sedikit dan saat gagal atau berhasil, usaha mereka sering dikaitkan dengan gender.
Bukti pengangkatan perempuan saat pemerintahan atau perusahaan kritis juga diperkuat analisis Direktur Penelitian di Catalyst, Anna Beninger. Ia percaya jika ada peran kepemimpinan yang ditunjukkan selama masa krisis.
"Misalnya penunjukan Mary Barra di General Motor dan Marissa Meyer di Yahoo. Keduanya terlihat menonjol karena jarang wanita yang duduk dalam posisi penting seperti mereka," lanjut Beninger.
Penelitiannya menunjukkan jika gender bukanlah satu-satunya faktor yang bisa diandalkan dan tolak ukur dalam suksesnya kepemimpinan. Cara kepemimpinan pria satu, beda dengan lainnya. Begitu juga wanita.
Penelitian Catalyst juga menyampaikan "Women 'Take Care,' Men, Take Charge,' yang menjadi stereotip pebisnis di Amerika.
"Mereka merasa jika perempuan di posisi top perusahaan lebih kompeten merawat, sedangkan lagki-laki lebih baik mengambil alih. Bisa jadi perilaku take care menjelaskan mengapa wanita dilibatkan dalam masa krisis," lanjut Beninger.
Sementara itu Ryan berpendapat jika salah satu bahaya perempuan dikaitkan dengan peran kepemimpinan berisiko untuk memperkuat stereotip jika perempuan tidak pandai dalam memimpin.
"Posisi tersebut jauh lebih stres dan sulit. Kita semua tahu jika wanita memiliki masa jabatan lebih pendek ketimbang pria," cetus Ryan.
Namun, mengambil kendali perusahaan atau kepemimpinan selama masa sulit membuat seorang pemimpin diuji. Sebab kesulitan menjadi komponen penting dari pengembangan keterampilan.
Profesor Bisnis Administrasi Harvard Business School mengungkapkan jika kesulitan memperlihatkan kelemahan dan kekuatan namun membuat pemimpin tahu apa yang harus dilakukan. Hal itu juga menjadi pembelajaran seorang pemimpin yang menempa dengan pengalaman.