Liputan6.com, Jakarta Batik kini banyak diproduksi secara massal di berbagai negara. Bahkan, batik yang banyak beredar bukanlah batik asli yang dikerjakan secara manual, melainkan dicetak dengan teknologi canggih. Tentunya hal ini dapat mengancam keberlangsungan batik di masa depan. Apalagi banyak pengakuan dari negara lain yang memberikan klaim bahwa batik merupakan kebudayaan mereka.
“Meski sudah didigitalisasi, tidak ada yang bisa mengulang soul dari wastra Indonesia. Meski Malaysia membawa pengrajin dari Pekalongan untuk membuat batik di sana, rasanya pasti akan berbeda. Karena alamnya, airnya hingga kokokan ayam yang menjadi pertanda pekerjaan batik dimulai,” ungkap Edward Hutabarat dalam diskusi “Design Talk, Collection, Inspiration, dan Fashion” di Dia.Lo.Gue, Kamis (26/1/2017).
Advertisement
Setiap batik yang dihasilkan oleh para pengrajin membutuhkan waktu dan usaha yang luar biasa. Bahkan keahlian ini tercermin dari lamanya proses pembuatan, seperti Batik Siang Malam yang dapat dibuat dalam berbulan lamanya. Untuk membuat batik yang memiliki banyak corak ini, sang pengrajin harus berkonsentrasi dengan berbagai jenis gambar. Nantinya gambar yang berwarna kuning hanya dipakai waktu siang dan corak berwarna hijau bisa digunakan di malam hari. Penggabungan dua fungsi batik dalam satu kain ini terjadi karena keterbatasan bahan pada saat penjajahan berlangsung.
“Bahkan untuk membuat satu sisinya saja butuh waktu satu bulan, satu bulan lagi untuk sisi sebelahnya. Inilah soul yang diberikan para pengrajin untuk satu tujuan, memberikan persembahan kepada sang pencipta,“ ucap Edward.
Di dalam gelaran “Tiga Negeri: Peranakan Fashion & Collection of Edward Hutabarat, Didi Budiarjo and Adrian Gan” sendiri terdapat berbagai koleksi batik bersejarah bernilai ratusan juta rupiah, seperti Batik Tiga Negeri, Batik Mega Mendung, hingga Batik Siang Malam yang setiap lembarnya memiliki makna mendalam.
“Indonesia gudangnya wastra dunia karena semua teknik di dunia Indonesia punya. Kalau diolah tidak akan ada habisnya. Semoga generasi muda bisa mencari, mengolah, dan membuat ekonomi Indonesia maju dengan wastra,” kata Edward menambahkan.