Liputan6.com, Jakarta - Kearifan lokal sebagai identitas bangsa sudah seharusnya dipertahankan, tak terkecuali dengan budaya Jakarta. Seiring zaman, tak dapat dipungkiri bahwa deretan kebiasaan ini semakin terkikis.
Memasuki usia 492 tahun di hari jadi yang jatuh pada Sabtu, 22 Juni 2019, ada deretan persoalan dalam 'tubuh' Jakarta yang memprihatinkan. Bergesernya peran ondel-ondel jadi satu hal yang sudah sepatutnya diperhatikan.
Sejatinya, ondel-ondel merupakan simbol dari penolak bala dalam hajatan Betawi. Namun, pada kenyataannya, kini pertunjukan rakyat Betawi tersebut kerap ditemui di berbagai sudut jalan ibu kota untuk mengamen.
Advertisement
Baca Juga
Kondisi ini mungkin sudah tidak asing bagi warga Jakarta. Sepanjang hari, selalu ada saja sekumpulan orang dengan ondel-ondel beserta para pemain musik pengiring mengikuti di belakang untuk mengais rezeki. Di sisi lain, Jakarta yang dipenuhi orang dari beragam suku dan budaya membuat tradisi leluhur tersisih.
"Justru kedatangan orang-orang bersama kebudayaannya ke Jakarta itu memperkaya bukan memiskinkan. Ini ada persoalan besar karena namanya ibu kota dan pusat modernitas ada kontestasi antar kebudayaan, antar produk-produk kebudayaan dalam konteks ini," ungkap Sejarawan JJ Rizal dalam tayangan Liputan6 SCTV.
"Misalnya kesenian atau bagaimana keroncong harus bersaing dengan rap di hari ini. Itu bisa menimbulkan kekalahan dan akhirnya kepunahan pendukungnya beralih ke pendukung musik yang modern atau keroncong di modernisasi atau gambang kromong-nya di modernisasi. Kemungkinan itu banyak sekali untuk melihat bagaimana cara kebudayaan itu tetap hidup." lanjutnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Upaya Pelestarian Budaya Betawi
Selain fenomena ondel-ondel yang dijadikan peraga untuk mengamen, budaya Betawi lain juga tak kalah tenggelam. Karenanya, upaya pelestarian sekaligus pengenalan jadi harga mati agar mereka tak benar-benar keluar dari radar nanti.
Napas pelestariaan budaya Betawi dapat dirasakan di Setu Babakan, perkampungan pusat budaya Betawi yang terletak di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Perkampungan Setu Babakan dihuni tiga ribu kepala keluarga yang hampir seluruhnya merupakan warga Betawi.
Sebelum kehadiran Setu Babakan, Pemprov DKI Jakarta telah membangun cagar budaya di kawasan Condet pada 1974. Sayang, modernisasi perlahan menggeser fungsi cagar budaya ini hingga 30 tahun kemudian statusnya dicabut.
Lalu pada 2004, Pemprov DKI Jakarta memindahkan cagar budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa di tahun 2004. Ini menjadi wujud nyata untuk mempertahankan dan melestarikan budaya Betawi agar tetap hidup.
Perkampungan Setu Babakan buka dari pukul 07.00 hingga 18.00 WIB. Di sana budaya Betawi dilestarikan mulai dari kesenian, adat istiadat, kuliner, pakaian, sastra, hingga arsitektur.
Advertisement