Liputan6.com, Jakarta - Isu rasisme kembali mencuat dan jadi perbincangan hangat. Bermula dari kematian seorang pria kulit hitam bernama George Floyd di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, usai lehernya diinjak polisi kulit putih, bernama Derek Chauvin pada 25 Mei 2020 lalu.
Bahkan, tagar Black Lives Matter turut membanjiri media sosial sesaat setelah kematian George. Tragedi ini juga menimbulkan gelombang protes dan demonstrasi besar-besaran di Negeri Paman Sam.
Selain di Amerika, isu rasisme juga buka hal baru di Indonesia. Sebut saja ketika adanya aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada akhir Agustus 2019 lalu.
Advertisement
"Tindakan rasisme itu melecehkan ras, suku, agama, kelompok lain di luar dari diri. Jadi sebenarnya, rasis berkaitan dengan fisik atau physical difference, bisa kulit dan warna rambut," kata Ricardi S. Adnan, sosiolog Universitas Indonesia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 4 Juni 2020.
Baca Juga
Ricardi menjelaskan, secara perkembangan, manusia cenderung mencari kedekatan tertentu, baik karena hubungan darah, merasa lebih nyaman karena keluarga, atau kedekatan berdasarkan suku, budaya, atau agama.
"Karena memiliki tradisi tata cara dan nilai yang relatif sama, ada juga yang berdasarkan profesi dan pergaulan, atau hobi, itu kedekatan membangun sebuah komunitas atau kelompok-kelompok sosial tertentu," tambahnya,
Kedekatan itu lantas menimbulkan kekompakan sampai solidaritas yang membangun rasa kebersamaan. Dikatakan Ricardi, dari naluriah mencari pertemanan lalu muncul rasa kebanggaan.
"Rasanya primordialisme kalau itu terkait dengan ras, suku, agama, hal-hal yang sifatnya dari turunan atau bawaan kita dari kecil. Ada juga memunculkan chauvinisme seperi dibangun para tirani seperti Hitler dan tokoh dunia lainnya," tambahnya.
"Ini secara sadar atau tidak sadar itu terbangun pada satu sisi, pada sisi lainnya, manusia bertindak dalam kehidupan sehari-hari bisa dibedakan secara sederhana ada dua tindakannya yang rasional dan emosional," ungkapnya.
Ia melanjutkan, kombinasi antara rasional dan emosional yang selalu melandasi manusia, kapan mementingkan atau mendahulukan rasional ketimbang emosional.
"Tidak bisa dipungkiti sampai saat ini saya pikir hampir semua kita, keduanya (rasional dan emosional) tetap bermain. Tindakan ini yang kadang kala kalau larut dengan emosi, baik diungkapkan atau tidak itulah dalam beberapa kejadian muncul dalam tindakan atau aktivitas yang rasisme," jelas Ricardi.
Pemicu dari rasisme sendiri, dikatakan Ricardi, adanya rasa paling hebat, lebih baik dan menganggap yang lain jelek, buruk, dan salah.
"Dalam kondisi tenang, mungkin rasionalnya bisa bermain lebih bagus, tapi ketika lelah, kondisi tidak baik, emosinya bangkit. Ketika emosi bangkit itu yang sifat rasa bangga terhadap diri atau persepsi negatif, labeling terhadap satu kelompok itu juga naik," tambahnya.
Dari Kacamata Psikologi
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Hamdi Moeloek, menyampaikan jika mendudukkan rasialisme dalam bahasa psikologi atau yang disebut sikap negatif.
"Sikap negatif itu berarti bentuknya antipati, tidak suka, bersikap negatif, melecehkan, merendahkan, tidak suka terhadap kelompok di luar kelompoknya," kata Hamdi saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 4 Juni 2020.
Kelompok tersebut, dikatakan Hamdi bisa bermacam-macam, mulai dari agama, rasial, bisa juga bersikap negatif terhadap kelompok umur.
"Namanya prasangka negatif itu bahasa yang kita sebut ini terjadi di Amerika, social prejudice atau prasangka sosial atau bahasa psikologi itu prasangka sosial itu ada di level sikap, social attitude," tambahnya.
Nanti ada tahapannya di mana rasisme masuk di level perasaan atau sikap. Hamdi menyebut, psikologi selalu mengenal tiga kategori sikap itu artinya evaluasi diri menganggap kelompok negatif lama-lama timbul perasaan tidak suka, antipati.
"Pertama mengganggap negatif dulu, terus menjadi jijik, kadang-kadang marah, dan benci, satu kesatuan itu, tapi masih di pikiran dan perasaan. Lama-lama, perasaan ini dituangkan menjadi tindakan, jadi tertampil dalam tingkah laku nyata ini yang disebut diskriminasi. Prasangka akan mengarahkan orang kepada diskriminasi," tambahnya,
Adapun tindakan ini mulai mendiskriminasi terhadap ras, kelompok lain, agama di luar diri. "Diskriminasi tarafnya macam-macam mulai dari maki-maki atau hate speech, mulai bertindak, sampai nanti paling kejam menyakiti, pembunuhan," ungkap Hamdi.
Advertisement
Dampak Rasisme pada Korban
Komponen sikap tersebut masuk dalam komponen afektif dasar dari semua itu kata psikolog, ada kognisi atau pikiran yang bernama stereotip bermula. "Sebenarnya dorongan naluriah dari manusia yang memang tertanam di manusia, sehingga nanti, bagaimana kita mengaturnya," tambahnya.
Berangkat dari komponen kognitif disebut stereotip, dikatakan Hamdi, manusia sebenarnya makhluk yang berpikir, yang memiliki kognisi sosial, aktif melihat lingkungan sekeliling. Manusia selalu memberikan penjelasan terhadap dunia luarnya, menerima informasi, dipilah, dikategorisasi, dimaknai dengan cara tertentu supaya manusia punya pengetahuan.
"Masalahnya, ketika kita melihat lingkungan sosial itu manusia itu cenderung melakukan kategorisasi sosial, mana yang kelompok saya, mana yang di luar saya. Kategori etnik tertentu cenderung, masalahnya, kadang-kadang membuat kategori sosial itu kita punya penyakit kognitif bersifat otomatis, melakukan stereotip, itu membuat kategori, melakukan over generalisasi," tambahnya.
Hamdi melanjutkan, yang bisa dilakukan adalah mengerem kecenderungan itu dengan diadakan pendidikan multikultural, pendidikan inklusif, pendidikan toleransi, mengenal suku budaya agama, saling bergaul antar suku-agama, pengertian dari orangtua soal adanya perbedaan.
"Pendidikan toleransi dipupuk dari kecil karena kemungkinan orang untuk rasis itu tinggi, baik karena terancam atau ingin merendahkan orang itu," kata Hamdi.
Lantas, apa dampak sikap negatif termasuk rasisme kepada korban? "Kesejahteraan, keselamatan fisik, psikis pasti terancam, korban bisa meninggal, trauma," jelasnya.
"Kelompok-kelompok kena perlakuan rasisme diteror jadi bisa trauma membuat secara psikologi ketakutan, merasa tidak aman. Ketakutan bisa membuat jadi gila, bunuh diri, (menyebabkan) mental health lain," tutup Hamdi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement