Liputan6.com, Jakarta Travel blogger Trinity, penulis buku "The Naked Traveler", terpaksa berdiam diri di rumah selama beberapa bulan akibat pandemi corona Covid-19. Setelah tujuh bulan di rumah, ia akhirnya kembali naik pesawat terbang dan pergi ke Turki.
Hal itu diketahui dari unggahan di akun Twitter dan Instagram miliknya. Berada di Turki pada 19 sampai 26 September 2020, Trinity akhirnya sudah kembali ke Indonesia. Namun saat tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada Sabtu, 26 September, ia mengaku mendapat pengalaman kurang menyenangkan.
Ia menceritakannya dalam sejumlah cuitan di Twitter pada Minggu (27/9/2020). Trinity menyoroti penanganan penumpang pesawat dari luar negeri ketika mendarat di Terminal 3 Bandara Soetta di saat pandemi.
Advertisement
Baca Juga
"Ceritanya gue ke Turki 19-26 Sep. Perginya gue udah rapid test dg hasil non reaktif. Kita cuma isi kartu selembar isi nama, no paspor, no perbangan n tgl/asal kedatangan (dibagikan di pesawat), cek suhu otomatis di bandara, tapi ga ditanya hasil rapid test," cuit Trinity Traveler.
Trinity menambahkan, sebelum pulang ia mencari dan mendapatkan informasi kalau untuk masuk Indonesia ternyata harus punya hasil tes PCR atau swab test. Ia kemudian test PCR di hotel sehari sebelum terbang dan hasilnya negatif.
"Pas check in, petugas Turkish airlines lsg meminta hasil PCR utk disertakan di boarding pass krn katanya masuk Indonesia hrs ada hasil PCR (bukan rapid test) yg diambil max 7 hari sblmnya. Untung gue udah punya!" tulisnya lagi.
Saat di pesawat, penumpang dibagikan kartu kuning yang harus diisi Saat baru mendarat di Bandara Soetta, Tangerang, ia merasa sedih dengan penanganan satgas Covid-19 di bandara.
"Begitu mendarat di CGK T3 kemarin sekitar jam 18.00, tau2 diserbu dg suara orang2 teriak2 nyuruh penumpang ke arah kanan utk duduk. Ada petugas yg membagikan kertas "klirens kesehatan" dari Kemenkes. Lha apa bedanya sama kartu kuning yak?" cuitnya lagi.
https://kitabisa.com/campaign/bantuyesindun
Ratusan kursi sudah disediakan di Terminal 3 Bandara Soetta, lalu ada petugas, tentara dan polisi berteriak-teriak menyuruh semua penumpang untuk duduk dalam bahasa Indonesia. Tidak ada informasi tertulis maupun verbal apa yang harus dilakukan para penumpang. Penumpang makin lama makin menumpuk dan dibentak-bentak tapi tetap belum diberitahu apa yang harus dilakukan.
Trinity merasa seperti pengungsi dan penasaran seperti apa perasaan para warna negara asing (WNA) mendapat perlakuan seperti itu. Trinity Traveler yang mengambil posisi duduk agak depan, berinisiatif mengisi formulir. Sedangkan penumpang lainnya masih disuruh untuk duduk tapi tetap belum dibeirtahu harus melakukan apa. Travel blogger ini pun sempat berswafoto sebagai bukti.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Merasa Seperti Diospek
Tak lama, ada tiga orang WNA yang dihampiri seseorang dan kemudian Trinity mengikuti mereka yang ternyata menuju jalur yang sudah dibatasi tanda PCR dan non PCR. Penumpang lain juga mengikuti mereka dan ikut antre di kedua jalur tersebut.
Trinity kemudian diminta surat tes PCR, kartu kuning dan formulir tadi oleh petugas yang sebagian besar tidak pakai APD selain masker. Selain itu, hasil cek suhu ada yang ditulis beda dengan hasil cek sebenarnya.
"Abis itu antre lagi di meja kedua yg dibatasi kaca. Surat2 tadi diserahkan. Temen gue ditanya sama petugas, "Bacanya ini gimana?" krn surat PCR kami dlm bhs Inggris! Hadeuh. Lalu surat2 dicap "valid". Buset, banyak amat kontaknya!" tulisnya lagi.
Usai pemeriksaan surat-surat, Trinity berjalan ke imigrasi dan harus menyertakan surat-surat tadi. Setelah mengambil bagasi, sang travelblogger kembali ditanya mau pulang ke mana. "Setelah custom, dicegat lagi 2 tentara yg juga meriksa surat2 dan akhirnya gue keluar! Huaaaah! Suasana T3 sepi banget!" cuit Trinity.
Ia merasa seperti diospek, karena seharusnya ada informasi yang jelas yang bisa diakses semua orang termasuk WNA bagaimana tata cara masuk Indonesia.
Formulir dan titik pemeriksaan terlalu banyak, padahal seharusnya meminimalisasi kontak, tapi justru bertemu banyak orang dan bersentuhan dengan kertas-kertas yang dipegang tangan berkali-kali. Trinity Traveler menambahkan, dari keluar pesawat sampai keluar bandara ia hanya menemukan dua hand sanitizer, dan tukang taksi gelap yang tidak memakai masker.
Advertisement
Pengalaman Warganet
"Sekian dan terima kasih. Sungguh gue emosi dan sedih! Ada pengalaman yg sama juga? Ayo spill di sini!" tutupnya. Cuitan Trinity Traveler mendapat banyak tanggapan dari warganet, dan ada yang membagikan pengalaman hampir serupa.
"Emang gitu mba, sy balik dr Malaysia mid Juni. Nampaknya sampai sekarang blm berubah. Gk ada tanda jalur cepat bagi yang sudah punya hasil PCR. Semuanya disuruh antri bahkan duduk di lantai. Wasting time!!" tulis akun @dwiadvento.
"Ma kasi ceritanya, Kak @TrinityTraveler. Pengalaman di bandara domestik emang penguji kesabaran banget. Dr info yg gak jelas, birokrasi rumit, sistem antre yg kacau, sampe sopir2 taksi yg agresif.. Abis seneng jalan2 di negeri orang, sampe bandara sini lgsg patah hati.." timpal akun @LinaNauli.
Namun ada juga yang mempertanyakan kenapa Trinity Traveler maupun traveler lainnya yang tetap pergi ke luar negeri di saat pandemi hanya untuk jalan-jalan atau bukan untuk keperluan mendesak.
"Anda sudah tau bagaimana sifat dan sikap org2 +62 yg selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan dan kalau anda tetap nekat untuk jalan2 ke luar negri di saat pandemi seperti ini dgn masyarakat dan pemerintahan kita yg seperti ini harusnya anda sudah tau segala resiko," cuit akun @Gunwik1 mengomentari unggahan Trinity Traveler.