Liputan6.com, Jakarta – Literasi tidak terbatas hanya pada kemampuan membaca dan menulis. Bagi siswa, untuk menunjukkan peningkatan dalam kemajuan akademis, mereka juga perlu menampilkan pemahaman yang kuat tentang informasi, kemahiran dalam memahami pelajaran, dan keterampilan berpikir kritis. Studi menunjukkan bahwa siswa di Indonesia kesulitan dalam memahami bacaan atau informasi tertulis.
Efeknya terlihat dari banyaknya anak muda yang membagikan informasi di media sosial tanpa melakukan verifikasi - sebuah praktik yang mengarah pada penyebaran informasi yang salah di negara yang penggunaan internetnya sangat tinggi ini. Ada kebutuhan mendesak untuk meninjau tulisan mereka sebelum diserahkan. Memanfaatkan solusi teknologi dapat membantu mengasah dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis kolektif siswa.
Menurut Jack Brazel, Head of Business Partnerships untuk Turnitin di kawasan Asia Tenggara, tingkat literasi di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya menurut Bank Dunia. Meskipun ada reformasi pendidikan, namun tujuan dari reformasi ini tidak dapat sepenuhnya direalisasikan mengingat sejumlah besar warga yang menyelesaikan sekolah tidak memiliki keterampilan literasi untuk memenuhi persyaratan melakukan pemrosesan informasi di dunia modern.
Advertisement
Baca Juga
“Kesenjangan literasi secara kritis ini berkontribusi pada kerentanan tatanan sosial-politik, termasuk informasi salah yang cepat tersebar melalui platform media sosial,” tuturnya. Institusi pendidikan juga harus mengubah cara memberikan instruksi kepada siswa sehingga mereka diberdayakan untuk menganalisis, membaca yang tersirat, dan mengidentifikasi sumber kredibel untuk pekerjaan mereka.
Lembaga Literacy Association melakukan penelitian baru-baru terhadap para pendidik dari 65 negara termasuk Indonesia. “Survei ini menemukan fakta bahwa para guru percaya cara terbaik untuk mengasah keterampilan berliterasi adalah dengan mengajarkan daya kritis dan menganalisis materi sumber referensi yang digunakan, serta maksud tersirat dari penulisan.”
Menurut Brazel, siswa yang membangun keterampilan literasi memiliki landasan yang lebih kuat untuk menegakkan integritas akademik dalam pekerjaan mereka. Untuk mencapai integritas akademik ini diperlukan komitmen bersama terhadap kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, tanggung jawab, dan keberanian antara pendidik dan siswa.
“Di sisi lain, pendidik juga perlu menekankan siswa pentingnya melakukan pemeriksaan ulang terhadap pekerjaan mereka sendiri untuk membangun budaya integritas akademik. Pertama, mencari opini lain dari sumber kredibel untuk membantah pendapat yang telah disajikan di dalam makalah tersebut.
Meskipun kutipannya mungkin benar, masih penting bagi siswa untuk memeriksa fakta untuk mengungkap kelemahan sumber referensi dan informasi yang masih bisa diperdebatkan atau bahkan salah. Ejaan dan tata bahasa juga penting agar siswa terbiasa memeriksa sebelum menyerahkan makalah.”
Menurutnya, semakin jelas siswa dalam menyajikan informasi, semakin rendah kemungkinan informasi tersebut disalahartikan. “Terakhir, sangat penting untuk mengajari siswa memeriksa karya tulis mereka dari indikasi plagiarisme dan memastikan bahwa informasi tidak disalin dari sumber lain.
Ada beberapa cara untuk mendukung hal ini, termasuk teknik cleanroom writing yang mengajarkan siswa untuk memisahkan secara jelas proses menulis mereka dari pembacaan terhadap karya orang lain. Ini semua akan membantu siswa meyakini 100 persen bahwa sumber yang dikutip bukan hasil salinan.”
Dihubungi terpisah, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, Deddy Mulyana menegaskan secara demografi dan statistik, faktanya penduduk Indonesia masih rendah dalam hal literasi dan berada di urutan ke-61 dari 62 negara yang disurvei berdasarkan tingkat literasinya.
“Masyarakat kia hanya membaca 27 halaman buku per tahun. Padahal kemampuan literasi membaca paling mempengaruhi orang untuk lebih kritis karena terbiasa berlatih,” ungkapnya.
Selain literasi membaca, literasi digital masyarakat Indonesia juga sangat rendah. “Dampak rendahnya kemampuan literasi mempengaruhi rendahnya daya kritis seseorang terhadap suatu isu,” tutupnya.