Merekam Perjalanan Desainer Wignyo Rahadi Berkarya Selama 20 Tahun

Dari tangan WIgnyo Rahadi, telah lahir ragam kreasi tenun, seperti anyaman bintik, salur bintik, dan benang putus.

oleh Asnida Riani diperbarui 25 Des 2020, 14:01 WIB
Diterbitkan 25 Des 2020, 14:01 WIB
Wignyo Rahadi
Desainer Wignyo Rahadi. (dok. istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - "20 tahun terasa sangat singkat untuk mengekplorasi kain tenun yang sangat beragam di Indonesia," kata desainer Wignyo Rahadi menandai dua dekade perjalanannya di industri fesyen dalam negeri melalui pesan pada Liputan6.com, baru-baru ini.

Dalam keterangan resminya, Wignyo bercerita bahwa ketertarikannya pada tenun kembali jauh ke tahun 1995 saat ia bekerja di industri benang sutera sebagai manajer pemasaran. Ia merasa tergelitik karena sering berhubungan dengan perajin tenun dan batik untuk menyosialisasikan penggunaan benang sutera.

Setelah memperdalam pengetahuan dan teknik alat tenun bukan mesin (ATBM), pada tahun 2000, Wignyo mendirikan usaha Tenun Gaya di Sukabumi, Jawa Barat. Selama berkarya, ia konsisten mengembangkan desain dan teknik kerajinan tenun ATBM.

Alhasil, dari tangannya, telah lahir ragam kreasi, seperti anyaman bintik, salur bintik, dan benang putus. Inovasi tanpa henti ini akhirnya menciptakan beragam motif tenun ATBM dengan ciri khas etnik kontemporer. 

Tenun Gaya, kata Wignyo, kemudian jadi pelopor, di mana UMKM semula membuat kain tenun ATBM hanya berupa kain bermotif sederhana warna putih dan dijual pada UMKM batik untuk diproses. Dari situ, biasanya baru dipasarkan berupa kain batik.

Namun, Tenun Gaya menjadikan kain tenun ATBM sudah bermotif lebih menarik, berwarna, dan bisa dijual langsung pada pembeli, baik berupa kain tenun meteran maupun busana siap pakai. "Seperti busana kemeja tenun SBY yang sekarang hampir di seluruh sentra tenun ATBM ikut membuatnya," kata sang desainer menambahkan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pengembangan Tenun

Wignyo Rahadi
Busana dengan sentuhan Ulos Sibolga karya desainer Wignyo Rahadi. (dok. istimewa)

Tenun Gaya juga kemudian berperan dalam pengembangan tenun tradisional di beberapa sentra tenun, seperti kain ulos, songket, serta tenun NTT dan NTB. Dalam praktiknya, mereka menjadikan kain yang semula kaku dan berat, jadi kain lembut nan ringan tanpa meninggalkan ciri khas kearifan lokal wilayah masin-masing.

"Motif dari kearifan lokal itulah yang jadi inspirasi Tenun Gaya agar kain dengan motif tertentu yang biasanya digunakan masyarakat tertentu berubah jadi (bahan yang) disukai dan digunakan seluruh masyarakat Indonesia sebagai fesyen keseharian, bukan busana keperluan adat saja," tuturnya.

Komitmen Wignyo dalam membina para perajin tenun di berbagai daerah telah berbuah penghargaan berupa UPAKARTI kategori Jasa Pengabdian pada bidang usaha pengembangan industri tenun pada 2014.

Pengembangan industri tenun yang dilakukan di Sukabumi, Jawa Barat juga mendapat penghargaan One Village One Product (OVOP) bintang empat dari Kementerian Perindustrian di tahun 2015.

Ragam wastra Nusantara yang telah direvitalisasi dan dikembangkan Wignyo antara lain Tenun Masalili Tenun Buton; Tenun Wakatobi, Sulawesi Tenggara; Tenun Pringgasela dan Songket Sumbawa, NTT; Tenun Tanimbar dari Maluku; serta Songket Sambas dan Tenun Lunggi dari Kalimantan Barat.

Juga, Ulos dan Songket dari Sibolga-Sumatra Utara; Kain Tapis dari Lampung; Tenun Baduy dan Batik Lebak dari Banten; Batik Betawi; Batik Pringmas dari Banyumas; tak ketinggalan, Bordir Tasikmalaya dan Lhokseumawe.

Sebagai upaya mendorong pengembangan dan penguatan potensi usaha produk fesyen, sekaligus pariwisata, Wignyo menampilkan koleksi rancangannya dalam fashion show yang berlokasi di sejumlah destinasi wisata.

Seperti Tenun Masalili yang ditampilkan di Taman Bakau di Kendari, Sulawesi Tenggara; Ulos yang ditampilkan di Pulau Musala di Sibolga, Sumatra Utara; Batik Betawi yang diperagakan di Pasar Seni Ancol, Jakarta; Tenun Baduy dan Batik Lebak yang diperagakan di Benteng Speelwijk di Banten; dan Batik Jambi yang ditampilkan di Candi Muaro Jambi.

Perkembangan Desain

Wignyo Rahadi
Tenun Tanimbar kreasi desainer Wignyo Rahadi. (dok. istimewa)

Perkembangan desain, kata Wignyo, tak selalu mengikuti tren karena pelanggan Tenun Gaya 60 persen adalah orang berusia di atas 40 tahun. Kategori pelanggan ini cenderung sudah mapan sehingga pilihan mereka adalah kenyamanan dan kepantasan.

"Bahkan, cukup banyak yang fanatik memilih warna apa yang mereka suka dan tak peduli dengan tren," tuturnya. "Mengenai desain, Tenun Gaya semula lebih etnik modern, sekarang ini mengarah (ke) desain lebih simpel, melihat perkembangan dan gaya hidup sekarang yang serba cepat."

Ke depan, Wignyo bersama Tenun Gaya bertekad akan lebih serius lagi dalam pengembangan kain tradisional dan ingin menjadikan divisi baru dalam pengolahan maupun pemasarannya. Ia juga mengaku akan membuat yayasan untuk lebih serius dalam melakukan pelatihan dan pendampingan UMKM dalam penguatan potensi kain daerah.

Dedikasi Wignyo untuk melakukan pengembangan kerajinan tenun secara berkelanjutan berhasil menuai berbagai apresiasi dari tingkat nasional hingga internasional. Termasuk di dalamnya adalah pemenang UNESCO Award of Excellence for Handicrafts in South-East Asia and South Asia 2012 untuk produk selendang pengembangan motif Rang-rang asal Nusa Penida, Bali.

Kemudian, World Craft Council Award of Excellence for Handicrafts in South-East Asia and South Asia 2014 untuk produk selendang pengembangan motif Tabur Bintang dari Sumatra Barat dan produk selendang pengembangan motif Ulos Ragidup asal Sumatra Utara.

Juga, Lomba Selendang Indonesia 2018 oleh Adiwastra Nusantara kategori Selendang Tenun Katun bertajuk "Tapis Motif Belah Ketupat."

Infografis Pakai Masker Boleh Gaya, Biar COVID-19 Mati Gaya

Infografis Pakai Masker Boleh Gaya, Biar Covid-19 Mati Gaya
Infografis Pakai Masker Boleh Gaya, Biar Covid-19 Mati Gaya (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya