Apa yang Terjadi pada Makanan Pesawat yang Ditolak Penumpang?

Kebiasaan makan di pesawat ini nyatanya berpengaruh pada limbah yang dihasilkan penerbangan.

oleh Asnida Riani diperbarui 15 Jan 2021, 06:01 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2021, 06:01 WIB
makanan di pesawat
Ilustrasi makanan di pesawat (Photo by Free To Use Sounds on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah maskapai penerbangan saat ini menyetop sementara layanan makanan di dalam pesawat selama pandemi demi menekan penyebaran COVID-19. Namun, ada beberapa, terutama penerbangan jarak jauh, yang masih menyediakan layanan tersebut.

Membahas layanan satu ini, pernahkah Anda melewatkan waktu makan dalam pesawat? Mungkin karena kurang nafsu atau tidur? Dengan melakukan itu, Anda juga ikut andil menghasilkan sampah makanan, yang merupakan masalah baik di udara maupun darat.

Melansir laman South China Morning Post, Rabu (13/1/2021), menurut data Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), maskapai penerbangan menghasilkan 6,1 juta ton limbah kabin secara global pada 2018.

Sekitar 20--30 persen di antaranya terdiri dari makanan dan minuman yang tak dikonsumsi. Sulitnya memprediksi perilaku makan penumpang jadi salah satu penyebab fenomena tersebut.

Selain itu, untuk memastikan bahwa preferensi makanan terpenuhi, banyak maskapai penerbangan memuat lebih banyak makanan daripada yang dibutuhkan. Di samping itu, jika ada penundaan penerbangan dalam jangka waktu cukup lama, makanan mudah rusak biasanya harus dibuang dan diganti dengan yang baru.

Japan Airlines adalah salah satu dari beberapa maskapai yang mencoba mengatasi masalah ini. Pada November lalu, JAL meluncurkan pilihan "Ethical Choice Meal Skip," yang memungkinkan penumpang tak ikut makan dalam penerbangan mereka.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Dimulai dari Penerbangan Malam

Koryo Burger Diklaim Jadi Sajian Makanan Pesawat Terburuk di Dunia
Ilustrasi makanan pesawat. (Kim Murphy/twitter.com)

Ikut dalam program JAL demi mengurangi sampah makanan, penumpang cukup mengubah pemesanan mereka di laman resmi maskapai penerbangan atau di telepon sebelum keberangkatan. Bagi yang melakukannya, pihak JAL akan memberi barang-barang, seperti sikat gigi dan penutup mata, sebagai ucapan terima kasih.

Program ini sedang diujicobakan pada penerbangan JL34 selama lima setengah jam yang berangkat dari Bangkok pukul 22.05 menuju Tokyo Haneda. "Sebelum pandemi, sekitar 10 persen penumpang kami cenderung melewatkan makan pada penerbangan tengah malam yang mengakibatkan pemborosan makanan," jelas juru bicara JAL, Mark Morimoto.

"Opsi melewatkan makan memungkinkan pelanggan memaksimalkan waktu beristirahat di pesawat, dan merupakan langkah pertama untuk mencapai tujuan (mengurangi limbah makanan dalam penerbangan)," sambungnya. Bergantung pada tanggapan penumpang, kata Morimoto, layanan tersebut dapat segera diperluas ke penerbangan malam lain.

Manfaatkan Teknologi

Etihad Airways maskapai penerbangan nasional milik Uni Emirat Arab (AP)
Etihad Airways maskapai penerbangan nasional milik Uni Emirat Arab (AP)

Maskapai penerbangan lain memanfaatkan teknologi dalam upaya ini. Pada September 2020, Etihad Airways mengumumkan bahwa mereka telah bermitra dengan perusahaan rintisan teknologi makanan Singapura Lumitics untuk mengurangi limbah dalam penerbangan. Pelacak pintar Lumitics memanfaatkan kecerdasan buatan dan pengenalan gambar untuk mengidentifikasi jenis, serta jumlah makanan yang tak dikonsumsi berdasarkan desain kertas timahnya di akhir setiap penerbangan.

Maskapai tersebut akan menggunakan data tersebut untuk mendeteksi pola limbah di seluruh jaringan dan meningkatkan perencanaan makan yang sesuai. Upaya serupa juga dilakukan Emirates dalam membuat perencanaan layanan ke depannya.

Meski langkah-langkah ini dapat membantu mengurangi limbah, pasti masih ada makanan yang tersisa di akhir sebagian besar penerbangan. Tapi, peraturan kesehatan yang ketat di banyak wilayah melarang makanan seperti itu untuk digunakan kembali.

Misalnya, operator penerbangan yang mendarat di Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat diharuskan mengubur atau membakar semua limbah kabin. Ini termasuk kantong keripik yang belum tersentuh dan kaleng soda yang belum dibuka untuk meminimalkan risiko penularan penyakit hewan.

Namun, tak demikian dengan Hong Kong. Cathay Pacific telah bekerja dengan LSM lokal sejak 2011 untuk mengirimkan makanan yang tak dikonsumsi pada yang membutuhkan.

Jurus Kelola Sampah ala Risma

Infografis Jurus Kelola Sampah ala Risma
Infografis Jurus Kelola Sampah ala Risma (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya