Cerita Akhir Pekan: Memodernisasi Camilan Tradisional Indonesia

Apa itu sebenarnya memodernisasi camilan tradisional Indonesia, dan sampai mana batasannya?

oleh Asnida Riani diperbarui 24 Apr 2021, 10:25 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2021, 08:30 WIB
Klepon Cake
Klepon cake dari Toby's Estate Indonesia. (dok. Instagram @tobysestateid/https://www.instagram.com/p/CNrW3uQgYgQ/)

Liputan6.com, Jakarta - Kultur makan berbuah ragam sajian sarat autentisitas, termasuk camilan tradisional, telah begitu melekat dengan definisi "pesona Indonesia." Bersamaan dengan itu, perubahan zaman menghadirkan tantangan tersendiri dalam menjaga kelanggengan nama-nama makanan ringan yang semula lumrah tersaji di meja makan.

Sebagaimana sektor lain, transformasi dengan label "memodernisasi" juga tidak mengecualikan camilan tradisional. Beriringan dengan versi orisinalnya, publik sekarang sudah terpapar bentuk kue tradisional dengan ragam "modifikasi kekinian."

Sebelum berbicara lebih jauh, Ria Musiawan, Ketua Umum Indonesian Gastronomy Community (IGC), menjelaskan apa itu makanan tradisional. "Itu makanan yang menggunakan bahan setempat, prosesnya turun-temurun, menggunakan bahan pangan lokal, serta cita rasanya dikenal dan dirindukan," urainya melalui pesan pada Liputan6.com, Jumat, 23 April 2021.

Berangkat dari situ, pandangannya akan definisi memodernisasi camilan tradisional adalah upaya mengembangkan camilan tradisional agar rasa, bentuk, atau penampilannya dapat menyesuaikan perubahan waktu.

Misal, Ria mencontohkan, kue balapis asal Manado yang sekarang bisa ditemukan berwarna biru karena menggunakan ekstraksi bunga telang. Pemanfaatannya dianggap memiliki banyak khasiat, selain menjadikan tampilan lebih menarik dari warna aslinya, yakni cokelat, yang terkesan "jadul."

"Nilai tambah dengan kreasi perubahan warna dari bunga telang akan membuat camilan punya manfaat lebih karena mengandung antioksidan yang dapat membantu kestabilan kesehatan," ujarnya.

Sementara itu, Founder Indonesia Gastronomy Network, Vita Datau, menyambung, dalam konteks hubungan makanan dengan pariwisata, itu sangat-sangat penting. "Makanan itu bisa jadi branding sebuah destinasi, motivasi orang datang ke sana. Artinya, itu harus berbicara tentang local wisdom," ungkapnya melalui pesan suara pada Liputan6.com, Jumat, 23 April 2021.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Sejauh Mana Camilan Tradisional Bisa Dimodernisasi?

20150814--6-Jajanan-Masa-Kecil
Kue cubit merupakan jajanan Tradisional yang mulai digemari lagi oleh anak – anak muda jaman sekarang, kue cubit mulai digemari saat ditambahkan pilihan – pilihan rasa baru seperti Green tea atau Red velvet. (istimewa)

Vita menegaskan, membuat camilan tradisional relevan di masa kini tidak boleh mengubah orisinalitas atau cita rasanya. "Kemasannya yang dimodernisasi sehingga cocok untuk masanya," ujarnya.

"Bentuk (camilan tradisional) masih masuk akal, tapi kalau rasa, sebaiknya autentik. Wisawatan datang ke suatu tempat itu mau merasakan rasa asli makanan tersebut, termasuk bahan-bahan makanan lokalnya, yang tidak bisa ditemui di negara mereka. Ini juga termasuk oleh-oleh," imbuh Vita.

Narasi seupa pun diungkap Ria. "Contohnya kue lumpang dari Palembang. Bentuk aslinya bulat menyerupai alat tumbuk padi, sekarang ada yang bentuknya menyerupai bunga, tapi rasa dan teksturnya sama. Jadi, menurut saya, rasa dan teksturlah yang mempertahankan keaslian atau ciri khas sebuah makanan," Ria menjelaskan.

Soal sejauh mana camilan tradisional bisa dimodernisasi, Ria merekomendasikan tetap menggunakan bahan sesuai resep agar tekstur terjaga, tidak mengubah rasa, juga tidak berlebihan menambah produk pangan lain dalam berkreasi, seperti penambahan keju, cokelat, dan kacang.

Sementara, Vita menuturkan bahwa belum ada pedoman eksak dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) tentang modernisasi camilan tradisional. "Yang ada, pemerintah fokus pada pengembangan UMKM, misalnya di Desa Wisata yang pastinya ada camilan tradisional," tuturnya.

Tapi, atensi itu lebih pada bagaimana produk "layak dimakan," terutama dalam kondisi pandemi COVID-19, yang membuat pihaknya fokus pada implementasi Cleanliness, Health, Safety, dan Environment (CHSE).

Soal keamanan, termasuk di dalamnya kebersihan makanan, Vita menyambung, merujuk pada daftar Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI), Indonesia ada di peringkat ke-102 dari 140 negara. "Ini PR untuk industri kuliner kita," katanya.

 

Orisinalitas dan Anak Muda

Resep
Cireng isi spageti. (dok. Instagram @jliciousjajan/https://www.instagram.com/p/B0u07-7JY4K/)

Mengacu pada tren generasi muda, termasuk milenial dan Generasi Z, yang justru tengah mencari segala sesuatu yang "orisinal," Ria mengucap, ia menyambut bahagia keinginan tersebut. Pasalnya, itu berarti menjaga keberlanjutan bahan-bahan pangan lokal yang banyak digunakan dalam makanan tradisional.

"Modernisasi masih dianggap perlu karena sejatinya membuat camilan tradisional jadi 'lebih modern' itu bukan mengganti atau menghilangkan rasa orisinalnya, tapi memberi nilai tambah. Jadi, rasa harus tetap orisinal seiring tampilan kekinian dan nilai gizi lebih baik. Aspek gizi jadi hal penting saat ini, di mana banyak orang mulai memerhatikan gaya hidup sehat," Ria menguraikan.

Vita menyambung, digital marketing punya peran krusial dalam menjaga, bahkan memantik minat itu lebih jauh. "Nantinya milenial bisa saja tertarik datang ke suatu tempat dengan melihat visualisasi makanan tradisional yang tentunya bersih, lebih representatif, tapi dengan narasi yang kuat," ucapnya.

 

Membawa Camilan Tradisional ke Panggung Dunia

Manis Gurih Serabi Cirebon, Makanan Khas Yang Selalu Dicari
Ragam toping yang ada diatas Serabi Cirebon kini semakin menambah daya tarik pembeli terutama yang datang ke Pantura Jawa Barat. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Mempromosikan kuliner Indonesia di kancah internasional, Vita menuturkan, akan sulit bila tidak melalui kolaborasi besar-besaran lintas kementerian, lembaga, dan stakeholders dengan road map yang sama.

"Kunci go global itu adalah kolaborasi dan komitmen dalam menjalani road map yang sudah disepakati. Pemerintah memang sudah ke arah itu untuk makanan berat, sedang menaikkan (kampanye) Indonesia Space Up the World," tuturnya. 

Harapannya, camilan tradisional "terciprat" popularitasnya, dengan catatan gerakan tersebut sukses. "Kita harus mengutamakan yang utama. Semua pasti mau maju bersama, tapi harus lihat dulu mana yang memperlihatkan dampak ekonomi lebih besar. Apakah camilan atau makanan besar yang sekarang lagi dipopulerkan lewat bumbu-bumbu Indonesia," ucap Vita.

Bila kampanye itu sukses, sambungnya, nantinya akan menggerakkan industri hulu, seperti petani dan produsen Indonesia. Di samping, Vita mencacat, promosi camilan juga tidak semudah itu, terlebih berbicara tentang makanan ringan bercita rasa manis.

"Masyarakat internasional yang peduli kesehatan sekarang sudah banyak, jadi mereka mengurangi (konsumsi) garam dan gula. Jadi, mana camilan yang nantinya akan dibawa (dalam promosi internasional) harus dipilih," paparnya.

Ria menambahkan, mengupayakan camilan tradisional bersaing di panggung dunia juga soal mengangkat story telling sebuah makanan. Ini mencakup latar belakang budaya atau filosofinya sehingga mudah dikenang, sekaligus memberi pengalaman tersendiri bagi penikmatnya.

"Story telling tentang bahan pangannya, misal, sagu, singkong, sukun, gula aren, bahkan kelebihan bahan pangan lokal baik secara nutrisi maupun cita rasa," ungkap Ria

"Selain itu, camilan Indonesia harus hadir di setiap restoran Indonesia di luar negeri berikut food story-nya secara serempak dan masif sebagai bagian dari gastro-diplomasi Indonesia," tutupnya.

Infografis Tampilan Kekinian Camilan Tradisional

Infografis Tampilan Kekinian Camilan Tradisional
Infografis tampilan kekinian camilan tradisional. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya