Liputan6.com, Jakarta - Menjelang penyelenggaraan PON XX Papua, Oktober 2021, penolakan menjadikan mahkota burung cenderawasih sebagai suvenir tengah ramai disuarakan. Ketidaksetujuan ini mengakar pada kepercayaan bahwa benda tersebut tidak bisa sembarangan dipakai.
Melansir Antara, Selasa (7/9/2021), menurut peneliti Balai Arkeologi Papua Hari Suroto, mahkota burung cenderawasih tidak sebatas benda budaya, namun juga identitas Papua. Merujuk pada tradisi setempat, mahkota burung cenderawasih hanya bisa dikenakan tokoh adat.
Ini dicontohkan seperti ondoafi untuk daerah pesisir dan kepala sudut bagi wilayah pegunungan. Mahkota burung cenderawasih pun hanya dikenakan saat acara adat maupun upacara sakral serupa.
Advertisement
Baca Juga
Burung cenderawasih bagi orang Papua, lapor Merdeka.com, adalah burung surga. Burung ini dipercaya membawa harapan atas keagungan Tuhan bagi tanah Papua.
Melansir laman resminya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua telah menerbitkan larangan penggunaan burung cenderawasih sebagai aksesori maupun suvenir. Aturan ini termuat dalam Surat Edaran Nomor 660.1/6501/SET tertanggal 5 Juni 2017.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua Hery Dosinaen menjelaskan, dengan diberlakukannya surat larangan ini, setiap acara seremonial di Papua tak boleh menggunakan burung cenderawasih. Penggunaan burung cenderawasih asli dikecualikan dalam proses adat yang bersifat sakral.
"Sementara untuk hal-hal yang bersifat aksesori atau atribut pada kegiatan seni budaya maupun cinderamata, diwajibkan menggunakan barang imitasi," ucapnya.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Suvenir Lain Pon XX Papua
Hery menyambung, dengan mendorong burung cenderawasih imitasi, bisa mengembangkan kreativitas yang akhirnya memberi peluang ekonomi kreatif bagi masyarakat. Dalam penyelenggaraan PON XX, burung cenderawasih ditolak digunakan untuk menyambut tamu di Bandara Sentani, serta tidak boleh dijadikan suvenir, baik dalam bentuk awetan maupun burung hidup.
Berbicara suvenir PON XX, pihak penyelenggara sebenarnya juga menyediakan barang lain, yakni noken. Dalam acara Mari Cerita (MaCe) Papua: Noken, Rajutan Identitas Masyarakat Papua, Juli 2019, Direktur Program Eco Nusa Muhammad Farid menyebut bahwa noken sudah sangat menyatu dengan kehidupan sehari-hari warga Papua. "Ibaratnya orang Jakarta pakai tas, orang Papua pakai noken," katanya.
Noken merupakan sebutan untuk menyatukan berbagai nama tas serbaguna tersebut di lebih dari 250 suku di tanah Papua. Penetapannnya menegaskan bahwa sejarah keberadaan tas rajutan ini telah terbentang begitu panjang.
Salah seorang pengrajin noken, Merry Dogopia, bercerita noken dulunya tak bisa dibawa sembarang orang. Hanya orang ternama, punya kuasa, dan pihak-pihak berada saja yang membawa noken. Seiring waktu, tas ini jadi milik masyarakat lebih luas.
Advertisement
Beda Fungsi Noken
Merry menyambung, "Noken juga dibagi-bagi. Ada yang khusus membawa makanan, ada pula yang dimaksudkan untuk membawa barang-barang berharga." Ketua Asosisasi Noken Papua pada 2016 tersebut bercerita setiap suku punya cerita masing-masing di balik rajutannya.
Generasi demi generasi berlalu, tak ada perubahan dalam perajutan pola noken di setiap suku. "Sudah diturunkan (leluhur) seperti itu," ujar Merry.
Perbedaan ini juga mencakup warna dan bahan baku benda yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO pada 2013 lalu tersebut. Merry menjelaskan, membuat noken berukuran kecil biasanya membutuhkan waktu satu hingga dua hari.
"Tapi, ada beberapa noken yang harus melalui proses perendaman serat kayu sampai satu minggu," paparnya.
Di samping serat kayu, noken sekarang juga dibuat dari benang, rumput, bahkan anggrek yang dipetik langsung di hutan. "Yang terbuat dari anggrek itu yang paling susah," ujar Merry.
Infografis Jangan Lengah Protokol Kesehatan COVID-19
Advertisement