Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah provinsi di China menawarkan cuti menikah berbayar selama 30 hari untuk para pasangan baru. Langkah itu diharapkan bisa meningkatkan minat warga untuk menikah dan meningkatkan angka kelahiran anak.
Dilaporkan People's Daily Health, corong Partai Komunis, pada Selasa, 21 Februari 2023, cuti menikah berbayar di China minimal adalah tiga hari. Namun, sejumlah provinsi berusaha menetapkan tunjangan yang lebih royal untuk warganya mulai Februari 2023.
Dikutip dari Telegraph, Rabu (22/2/2023), Provinsi Gansu di barat laut dan Provinsi Shanxi yang menjadi produsen batu bara saat ini memberikan cuti menikah 30 hari. Media pemerintah itu juga memberitakan bahwa Shanghai memberikan 10 hari cuti menikah dan Sichuan hanya tiga hari.Â
Advertisement
Baca Juga
"Memperpanjang cuti menikah adalah salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan angka fertilitas," kata Yang Haiyang, dekan Lembaga Penelitian Pembangunan Sosial Universitas Keuangan dan Ekonomi Southwestern.
"Perpanjangan cuti menikah mayoritas diterapkan di sejumlah provinsi dan kota dengan perkembangan ekonomi yang rendah," katanya, seraya menambahkan bahwa ada hal mendesak untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja dan menstimulasi tingkat konsumsi. Di luar itu, Yang mengatakan sejumlah kebijakan pendukung lainnya juga diperlukan, termasuk subsidi perumahan dan cuti melahirkan bagi laki-laki.
Sebelumnya, Provinsi Sichuan di barat daya China juga mencabut larangan mereka yang lajang untuk memiliki anak di luar nikah. Ini adalah salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran yang anjlok di negara itu.
Saat ini, pemerintah Sichuan hanya mengizinkan pasangan menikah untuk mendaftarkan kelahiran hingga dua anak. Mulai 15 Februari 2023, semua warga negara, termasuk orangtua yang belum menikah, dapat mendaftarkan kelahiran tanpa batas jumlah anak.
Â
Â
Populasi Menyusut
Dikutip dari CNN, Senin, 31 Januari 2023, perubahan kebijakan terjadi setelah populasi China menyusut pada tahun lalu untuk pertama kalinya dalam lebih dari enam dekade, menandai momen bersejarah dalam krisis demografi yang semakin dalam. Tahun lalu, negeri tirai bambu mencatat tingkat kelahiran terendah, yaitu 6,77 kelahiran per 1.000 orang.
Sebagian besar penurunan adalah hasil dari kebijakan 'satu anak' yang diberlakukan antara 1980 dan 2015. Negeri Tirai Bambu telah menghapus kebijakan 'satu anak' yang kontroversial pada 2015, setelah menyadari bahwa pembatasan itu berkontribusi signifikan pada populasi yang menua dengan cepat dan penyusutan tenaga kerja yang bisa sangat mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial negara.
Meski begitu, pelonggaran tersebut tak segera meningkatkan angka kelahiran. Lonjakan biaya pendidikan dan biaya hidup membuat banyak orang Tionghoa tidak memiliki lebih dari satu anak, atau bahkan memiliki anak sama sekali. Krisis demografi di China itu diperkirakan berdampak pada tingkat pertumbuhan pada beberapa tahun mendatang.
Untuk mengendalikan penurunan tingkat kelahiran, pemerintah China mengizinkan pasangan yang menikah untuk memiliki dua anak pada 2015. Meski begitu, tingkat kelahiran secara nasional di China terus menunjukkan tren penurunan.Â
Â
Advertisement
Tambahan Tunjangan
Sichuan, rumah bagi lebih dari 83 juta orang, adalah provinsi terpadat kelima di China. Pelonggaran persyaratan akta kelahiran mengikuti langkah serupa yang diambil oleh provinsi lain, seperti Guangdong dan Shaanxi.
Komisi Kesehatan Provinsi Sichuan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dengan menghapus pembatasan pernikahan. Langkah tersebut diharapkan mengalihkan fokus pencatatan kelahiran ke 'keinginan dan hasil melahirkan anak'.
Di China, pendaftaran kelahiran seringkali diwajibkan kepada orangtua untuk mengakses manfaat seperti asuransi kehamilan. Hal itu juga diperlukan untuk mendapatkan dokumen pendaftaran rumah tangga atau hukou, yang memberi anak-anak akses ke kesejahteraan sosial, seperti perawatan kesehatan dan pendidikan.
Meski begitu, seorang pejabat dari Komisi Kesehatan Sichuan mengatakan kepada media lokal bahwa kebijakan tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak ibu tunggal, bukan untuk mendorong orang yang belum menikah menjadi orangtua. Pengumuman komisi tersebut mengatakan bahwa kebijakan tersebut akan mempromosikan 'pembangunan populasi jangka panjang dan seimbang'.Â
Aturan baru akan memberikan akses kepada orangtua tunggal di Sichuan ke manfaat yang sebelumnya disediakan untuk pasangan menikah, seperti asuransi persalinan yang mencakup perawatan kesehatan sebelum melahirkan, biaya medis terkait persalinan, dan cuti hamil berbayar.
Terjadi di Korea Selatan
Situasi serupa juga terjadi di Korea Selatan. Statistik Korea menyatakan usia rata-rata seorang menikah saat ini adalah 30-an tahun. Menurut lembaga negara itu, hampir setengah perempuan Korea Selatan yang menikah pada 2021 adalah yang berusia 30-an. Tercatat 193 ribu pasangan menikah pada 2021.
Perubahan ini disebabkan pergeseran persepsi perempuan tentang gagasan pernikahan. Banyak yang percaya bahwa menikah bukan lagi suatu keharusan, dipengaruhi berbagai alasan seperti kurangnya stabilitas keuangan dan pekerjaan, serta sulitnya membesarkan anak.
Menurut biro jodoh Duo, yang menggelar survei pada Desember 2022, lebih dari separuh wanita berusia 25 hingga 39 tahun menjawab bahwa tidak ada lagi usia yang tepat untuk menikah. "Saat ini, pria dan wanita lajang mengabdikan diri untuk memilih pasangan hidup mereka, dan pertimbangan utama mereka berfokus pada hal-hal non-materi, seperti kepribadian dan nilai-nilai," kata seorang perwakilan dari Duo, dikutip dari Korea Times, Rabu, 11 Januari 2022.
"Sekarang bukan saatnya orang terburu-buru menikah di bawah tekanan. Orang mencari seseorang yang memenuhi kebutuhannya dan membuat pilihan tentang siapa pasangan yang tepat," tambahnya.
Advertisement