Liputan6.com, Jakarta - Media sosial terutama Twitter sedang ramai menyoroti kasus penganiayaan oleh pengemudi Jeep Rubicon, terhadap korban bernama David di daerah Pesanggarahan, Jakarta Selatan. Diketahui, pelaku yang bernama Mario Dandy Satriyo adalah anak pejabat Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan.
Polisi mengungkap pelanggaran lain yang dilakukan Mario Dandy Satriyo alias MDS. Selain diduga menganiaya David, anak pejabat itu ternyata juga melakukan pelanggaran lalu lintas dengan memakai plat nomor palsu pada kendaraan Jeep Rubicon.
Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, mengungkap, mobil Jeep Rubicon hitam itu adalah kendaraan yang dipakai Dandy untuk menghampiri David di rumah temannya kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Senin, 20 Februari 2023.
Advertisement
Baca Juga
Ade Ary menambahkan, setelah dilakukan penelusuran, terungkaplah mobil Jeep Rubicon hitam tersebut ternyata memakai plat nomor palsu dengan nomor B 120 DEN. Padahal, nomor kendaraan tersebut tidak sesuai dengan nomor rangka dan mesin.
"Kemudian kami mengamankan nopol B 2571 PBP ini yang diduga, plat nomor inilah yang sesuai dengan fisik nomor ini. Sesuai STNK yang ada yaitu B 2571 PBP," ungkap Ade Ary, melansir kanal News Liputan6.com.
Ade Ary menegaskan kasus Dandy juga akan didalami terkait adanya dugaan pelanggaran lalu lintas, karena penggunaan nomor polisi yang tidak sesuai dengan peruntukannya. "Kita seyogyanya mematuhi aturan lalin di jalan. Tolong menggunakan plat nomor sesuai peruntukannya dan mematuhi aturan rambu yang ada di jalan untuk saling menghormati antar pengguna jalan satu dengan yang lain," tuturnya.
MDS sendiri kini telah jadi tersangka dan sudah ditahan. Aksi MDS selaku pengendara Rubicon langsung viral di media sosial dan disebut flexing alias suka pamer barang mewah.
Dari penelusuran warganet, Mario ternyata adalah anak dari Rafael Alun Trisambodo, Kepala Bagian Umum Kanwil DJP Jakarta Selatan II. Aksi kekerasan oleh pengemudi Rubicon ini langsung ramai diperbincangkan warganet.
Harley dan Jeep Rubicon
Mayoritas pengguna menyoroti gaya hidup Mario yang kerap pamer kendaraan mewah di platform media sosial. "Mungkin yang bagian Rubicon sama HDnya ga dilaporin di SPT," ucap @agus****
"Pak kalo punya Harley sama Rubicon apa ga wajib dilaporkan ya? Enak ya eselon aja bisa jadi banyak uang, keluarnya bisa petantang petenteng di jalan," cuit @ASagi****
"Coba dicek di SPT bapaknya Pak. Apakah Rubicon dan Harleynya dilaporkan? Karena di LHKPN 2021 tidak dilaporkan. ☺️☺️," tulis @txtdaritax.
Banyak warganet menyoroti kebiasaan Dandy yang gemar pamer harta barang mewah alias flexing di media sosial. Sejumlah video Dandy sedang naik Jeep Rubicon maupun motor Harley Davidson. Warganet juga heran dengan jumlah kekayaan orangtua Mario sebagai pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan tetapi mampu memiliki harta sampai puluhan miliar rupiah.
Istilah flexing sendiri menjadi viral pada beberapa pekan terakhir di Indonesia. Sejumlah kegiatan yang dianggap flexing di media sosial bermunculan setelah beberapa orang dilabeli sebagai crazy rich baru, misalnya di Instagram hingga YouTube. Flexing merupakan kata lain dari memamerkan harta yang dimilikinya kepada khalayak umum.
Advertisement
Flexing Jadi Gaya Hidup
Psikolog Dian Wisnuwardani angkat bicara mengenai fenomena flexing yang ramai di dunia maya. Menurut Dian, berdasarkan hasil riset prioritas utama orang saat ini ingin menjadi kaya raya. Alasannya, setiap orang pada dasarnya memiliki sebuah pencapaian ataupun prestasi dalam hidupnya.
Pencapaian itu diukur dari kekayaan yang dimilikinya. Karena hal itu, Dian menyebut orang-orang berusaha menampilkan dirinya sudah kaya raya. Seperti halnya menampilkan mobil yang dimilikinya, pakaian yang dikenakan, kehidupan sosialnya, sampai pergaulan di lingkungannya saat ini.
"Itu sebetulnya jadi gaya hidup saat ini. Jadi keren sih crazy rich, tapi bohong gitu ya kalau saya bilangnya sih. Bisa juga memang dia kaya raya, tapi bisa juga dia sebetulnya faking bahwa dia sebetulnya enggak sekaya itu," kata Dian kepada Liputan6.com.
Dian menambahkan, flexing merupakan bentuk pengakuan dari banyak orang. Hal itu juga ada dalam dunia psikologi atau disebut dalam istilah perbandingan dengan orang lain. Di mana seseorang melakukan komparasi sosial bagaimana penilaian orang lain terhadap penampilan kita. Atau seberapa jauh penilaian seseorang saat orang lain mencapai sebuah pencapaian yang dimilikinya di media sosial.
Bahaya Flexing
Selain semakin berkembangnya aplikasi media sosial, flexing juga bermunculan karena adanya kecenderungan pengalaman masa kecil seseorang. Seperti halnya tak ada pengakuan atau prestasi yang dapat dibanggakan. Sedangkan saat ini seseorang yang dianggap tak punya prestasi telah menjadi orang peranan yang cukup diperhitungkan.
"Sebetulnya kalau kita pamer sesuatu dengan itu, bisa bikin kita jadi lebih senang. Itu adalah zat kimianya di dalam tubuhnya namanya dopamine. Efek dopamine itu yang kita orang bangga terus orang komen keren. Itu bikin dia senang, akhirnya jadi pengen lagi melakukan itu, melakukan itu," jelas Dian.
Dian menilai tindakan pamer sebenarnya berbahaya untuk pelakunya sendiri dan para penontonnya. Ketika orang melakukan pamer dan mendapatkan pujian akan berdampak pada kesombongan dan terbawa perasaan. Akibatnya seseorang itu akan mudah membentuk perubahan suasana hati.
Sedangkan efek samping kepada penontonnya yaitu mengharuskan pencapaian seseorang untuk menjadi kaya raya. Padahal secara ilmu psikologi pencapaian seseorang itu banyak macamnya, contohnya kebahagiaan dan kesejahteraan.
Advertisement