Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim berdampak banyak pada kehidupan manusia, termasuk pada industri pariwisata. Menurut Copernicus Climate Change Service dari Uni Eropa, perubahan iklim mengakibatkan kenaikan suhu bumi dan menyebabkan musim panas dengan suhu paling panas terjadi pada tahun ini.
Dilansir dari Japan Today, Rabu, 27 September 2023, pergeseran pola cuaca menimbulkan pertanyaan tentang di mana, kapan, bagaimana, dan apakah wisatawan akan melakukan perjalanan untuk pergi liburan. Karena peningkatan suhu tersebut, musim perjalanan "puncak" yang terjadi saat musim panas, mungkin akan berpindah ke bulan-bulan musim gugur atau musim semi dengan cuaca yang lebih bersahabat.
Baca Juga
Pengelola destinasi wisata memperhatikan hal ini. Mereka mulai mengkhawatirkan dampak perubahan iklim terhadap industri pariwisata.
Advertisement
Berwisata ke pantai Spanyol pada musim panas, misalnya, biasanya terdengar seperti mimpi. Namun tahun ini, hal ini berubah menjadi mimpi buruk bagi wisatawan Mediterania.
Kota pesisir Valencia, Spanyol, mengalami suhu mencapai 116 derajat Fahrenheit pada Agustus 2023, yang merupakan rekor suhu tertinggi pada lokasi tersebut. Hal ini terjadi di tengah pembatasan penggunaan AC di ruang publik di Spanyol, sehingga memaksa wisatawan berkeringat.
Peristiwa ini kemungkinan akan bertambah buruk, mendorong wisatawan menjauh dari destinasi tepi pantai yang populer di Eropa, menurut laporan dari Pusat Penelitian Gabungan Komisi Eropa pada Juli 2023. Wilayah pesisir selatan seperti Yunani, Italia, dan Spanyol diperkirakan akan mengalami penurunan kunjungan wisata jika suhu terus meningkat.
Wisatawan Mencari Destinasi Bersuhu Lebih Dingin
Di sisi lain, destinasi yang lebih dingin di Eropa Utara mungkin jadi pilihan untuk dikunjungi lebih banyak wisatawan. Denmark, Prancis, dan Inggris dapat menerima lebih banyak wisatawan karena memiliki suhu yang lebih tinggi, menurut laporan tersebut. Greenland yang sebagian besar tertutup es, diperkirakan akan menerima lebih banyak pelancong dalam beberapa dekade mendatang, dengan bandara baru yang akan dibuka pada 2024.
Di wilayah Amerika Serikat, banyak destinasi populer yang terdampak kenaikan suhu. Seperti gletser di Taman Nasional Glacier, Amerika Serikat yang telah kehilangan rata-rata 40 persen ukurannya antara 1966 hingga 2015, menurut National Park Service. Terumbu karang Florida juga memutih dan kematian akibat tekanan suhu laut yang mencapai suhu terpanas pada musim panas ini.
Musim panas biasanya adalah waktu "puncak" waktu untuk liburan. Namun seiring dengan kenaikan suhu pada musim tersebut, para wisatawan mungkin akan mencari alternatif musim lainnya untuk berwisata seperti saat bulan-bulan musim semi dan musim gugur. Dengan kata lain, wisatawan dapat mengubah kapan (bukan di mana) mereka berkunjung.
Advertisement
Perubahan Iklim Akibatkan Penurunan Jumlah Wisatawan
Perubahan ini mungkin sudah terjadi. Saat ini, bunga sakura di Jepang berbunga 11 hari lebih awal dari biasanya, menurut laporan tahun 2022 di jurnal Environmental Research Letters. Hal ini telah menyebabkan festival bunga sakura yang menarik bagi wisatawan mengalami perubahan jadwal dari semula diselenggarakan pada April ke Maret.
Perubahan kondisi kerja yang fleksibel serta permintaan yang turun akibat pandemi, juga dapat berkontribusi pada meningkatnya wisatawan untuk berlibur saat "musim sepi". Seiring dengan semakin banyaknya wisatawan yang menyadari perubahan pola cuaca, mereka mungkin akan menyesuaikan jadwal untuk menghindari panasnya musim panas.
Pusat Penelitian Gabungan Komisi Eropa memperkirakan bahwa wilayah Pesisir Selatan Eropa bisa kehilangan sebanyak 10 persen wisatawan selama puncak musim panas. Perubahan iklim akan mempengaruhi bagaimana dan kapan wisatawan melakukan perjalanan. Namun hal ini juga berdampak sebaliknya, pariwisata sendirilah yang mempengaruhi iklim. Menurut beberapa sumber, pariwisata menyumbang sekitar 8 persen dari emisi global.
Upaya Penurunan Emisi Karbon di Sektor Pariwisata
Sebuah penerbangan trans-Atlantik akan membutuhkan satu hektare hutan untuk menyerap emisi karbonnya. Meskipun industri penerbangan berlomba-lomba mengurangi emisi, industri tersebut masih tertinggal jauh dibandingkan penghasil emisi besar lainnya dalam membuat perubahan yang berarti.
Apa dampaknya bagi penumpang maskapai penerbangan? Entah mereka harus mulai mengurangi jumlah mil yang mereka tempuh, atau pemerintah mungkin mulai menerapkan pembatasan untuk mengurangi emisi.
Prancis, contohnya, telah melarang penerbangan domestik jarak pendek untuk rute yang sudah dapat diakses oleh kereta api. Artinya, jika pelancong bisa sampai di sana dalam waktu kurang dari dua setengah jam dengan kereta api, mereka tidak bisa lagi terbang untuk mencapai lokasi tersebut.
Larangan serupa dapat diterapkan di seluruh Eropa seiring dengan semakin agresifnya negara-negara dalam memerangi perubahan iklim. Beberapa pendukung perubahan iklim bahkan telah mengusulkan pajak frequent flyer, yaitu merupakan pajak yang disesuaikan dengan jumlah penerbangan yang dilakukan seorang pelancong, sebuah upaya untuk mengurangi jejak karbon yang besar pada saat ini.
Advertisement