Liputan6.com, Jakarta Seorang influencer asal Brasil, Jennifer Pamplona, mengingatkan bahaya filler bokong bagi kesehatan. Berkaca pada pengalamannya yang kini mandul alias tak bisa memiliki anak, Jennifer meminta siapapun untuk berpikir berulang kali sebelum menjalani prosedur kecantikan itu.
Mengutip NY Post, Rabu (4/9/2024), Jennifer menghabiskan sekitar USD1 juta untuk menjalani operasi pembesaran bokong agar mirip Kim Kardashian. Ia pun rela bokongnya disuntik zat bernama polymethyl methacrylate (PMMA) agar bisa mewujudkan mimpinya. Namun, hal itu menghancurkan mimpinya yang lain.
Baca Juga
Mengeluh Gara-gara Penerbangannya ke Australia Dibatalkan Imbas Erupsi Gunung Lewotobi, Influencer Dikecam Nirempati
4Â Influencer Perempuan Pakistan Promosikan Wisata Aman dan Seru di Indonesia untuk Perempuan
Influencer Putra Aji Sujati Tebar Inspirasi, Bangun Kesadaran Politik dan Buka Ruang Diskusi Era Digital
"Aku selalu memimpikan menjadi seorang ibu," kata perempuan asal Brasil yang menjalani puluhan prosedur kepada Need To Know. "Sayangnya, aku sekarang tak bisa mewujudkan mimpiku karena komplikasi akibat PMMA."
Advertisement
Meskipun infertilitas Pamplona tidak terkait langsung dengan penggunaan PMMA, komplikasinya diyakini terkait dengan penggunaan yang tidak tepat atau reaksi yang merugikan. Akibatnya, zat tersebut dapat berpindah dari tempat suntikan ke bagian tubuh lain, termasuk daerah panggul, sehingga memengaruhi fungsi organ reproduksi.
Pamplona mengatakan dia mengalami reaksi merugikan yang disebabkan oleh penyebaran zat filler dari daerah panggul belakang ke organ reproduksinya selama bioplasti satu dekade lalu. Dokter bedahnya, Dr. Carlos Rios mengatakan bahwa kecelakaan medis itu menjadi 'masalah hidup atau mati'.
"Gejala yang dia tunjukkan adalah akibat langsung dari prosedur ini," katanya. "Dia dalam situasi yang membahayakan nyawanya saat itu."
Alami Gangguan Dismorfia Tubuh
Â
Ia menyebut penderitaannya sangat besar. Utamanya disebabkan ketidakmampuannya untuk hamil.
"Rasa sakit karena tidak mampu menciptakan kehidupan adalah sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan akan saya hadapi," kata Jennifer tentang kehilangan kesempatan mengandung dan melahirkan. "Keterbatasan saya sangat parah, dan saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan," sambungnya. Meski begitu, dokternya mengatakan semuanya akan membaik dengan 'meditasi, diet yang tepat, suplementasi dan pengobatan'.
Jennifer mulai menjalani operasi plastik pada usia 17 tahun dan sejak itu telah menjalani lebih dari 30 prosedur, termasuk tubuh dan wajah. Dia baru memutuskan untuk berhenti setelah didiagnosis menderita dismorfia tubuh pada 2022.Â
Pamplona mungkin akan menjalani satu kali operasi lagi, yaitu operasi rekonstruktif yang diharapkan dapat membalikkan keadaan yang telah ia alami. Sekarang, dia sedang melalui masa penderitaan yang luar biasa dan harus menghadapi komplikasinya.
"Saya ingin mengatakan bahwa jika semua orang memperhatikan kesehatan emosional mereka, prosedur yang dilakukan akan lebih jarang dilakukan," katanya.
Advertisement
Apa Itu Dismorfia Tubuh?
Mengutip kanal Regional Liputan6.com, psikolog UGM, Aisha Sekar Lazuardini Rachmanie menjelaskan gangguan dismorfia tubuh atau Body Dysmorphic Disorder (BDD) merupakan salah satu masalah mental yang ditandai oleh kekhawatiran berlebihan terhadap kekurangan atau ketidaksempurnaan dalam penampilan fisik individu.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM- 5) yang menjadi panduan diagnostik utama para profesional kesehatan mental, seseorang yang mengalami masalah ini memiliki persepsi yang terdistorsi terhadap penampilan mereka sendiri, meskipun mungkin tidak ada ketidaksempurnaan yang signifikan atau terlihat oleh orang lain.
"Individu dengan BDD biasanya sangat terobsesi dengan sedikit detail penampilan mereka, seperti bentuk wajah, ukuran hidung, bentuk tubuh, atau bagian tubuh lainnya. Mereka mungkin sering memeriksa penampilan mereka di cermin atau mencoba menyembunyikan 'kekurangan' mereka dengan cara tertentu, seperti mengena kan banyak makeup atau pakaian tertutup," papar dosen Fakultas Psikologi UGM ini.
Aisha mengatakan BDD berbeda dari kekhawatiran umum tentang penampilan tubuh. Individu dengan BDD cenderung memiliki pikiran yang persisten dan mengganggu terhadap diri mereka yang menyebabkan penderitaan signifikan dan dapat mmempengaruhi perilaku dan fungsi individu dan kemungkinan BDD diwariskan secara genetik.
Tanda-Tanda Alami Dismorfia Tubuh
Aisha menyatakan gangguan itu cenderung terjadi di usia remaja dan dewasa, terutama pada perempuan. Selain riwayat keluarga, ada beberapa faktor yang dapat memicu kerentanan tersebut yaitu pengalaman traumatis, seperti pelecehan fisik atau verbal terkait penampilan, serta faktor lingkungan yang dipicu tekanan budaya.
"Faktor-faktor tersebut dapat berkontribusi terhadap perkembangan BDD," terangnya.
Aisha menyampaikan terdapat beberapa tanda yang mengarah pada BDD. Salah satunya preokupasi yang berlebihan terhadap penampilan fisik pada bagian-bagian tubuh tertentu, seperti wajah, kulit, rambut, hidung, ukuran tubuh, atau bagian tubuh lainnya. Gejala lainnya adalah persepsi yang terdistorsi terhadap penampilan, cenderung melihat diri jauh lebih buruk daripada apa yang sebenarnya terlihat oleh orang lain.
"Terlalu terobsesi untuk menggunakan makeup berlebihan demi menutupi sesuatu yang dirasa kurang walaupun mungkin tidak ada. Mengenakan pakaian yang menutupi bagian tubuh tertentu, atau mencoba prosedur kosmetik yang berulang kali," imbuhnya.
Aisha menjelaskan BDD dapat berdampak signifikan pada individu yang mengalaminya. Penderita BDD rentan mengalami gejala depresi, kecemasan, atau stres yang tinggi. Penderita dapat mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sosial, mengikuti aktivitas sosial, atau beraktivitas sehari-hari karena kecemasan yang berkaitan dengan penampilan. Namun, ia menekankan agar tidak mendiagnosis masalah itu secara mandiri.
Advertisement