Liputan6.com, Jakarta - Di tengah perkebunan kelapa hibrida milik Sambu Group, yakni PT Riau Sakti United Plantations (RSUP), berdiri sebuah bangunan berdinding hijau. Dari kejauhan, bangunan tersebut tak berbeda dari bedeng yang berdiri di areal perkebunan. Namun bila diperhatikan dengan jeli, bangunan yang berfungsi sebagai gedung serbaguna itu ternyata terbuat dari eco-block.
Itulah bangunan berbahan plastik daur ulang pertama yang berdiri di Pulau Burung, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Mereka menamainya sebagai Gedung Eco-Sistem, dirancang secara kolaboratif antara perusahaan perkebunan itu dengan SIG dan Yayasan Bahtera Dwipa Abadi (YBDA).
Pembangunannya dilakukan oleh Block Solutions Indonesia, perusahaan yang khusus mengembangkan eco-block dari plastik daur ulang yang dibeli dari sumber lokal. Bentuknya mengingatkan pada tetris, yang didesain agar mudah disusun.
Advertisement
Dalam rilis yang diterima Tim Lifestyle Liputan6.com, beberapa waktu lalu, gedung berukuran 7,2 meter x 16,2 meter itu memanfaatkan 1.274 eco-block. Jika dikonversi, eco-block sebanyak itu terbuat dari 3,15 ton plastik daur ulang dan diklaim dapat mengurangi 7,3 ton emisi karbon.
"Kami berharap Gedung Eco-Sistem Kelapa akan menjadi aset di daerah ini dan akan digunakan oleh masyarakat untuk tujuan positif," kata Angela Lu, President and General Manager Asia Pacific at SIG.
Bangunan plastik yang terletak di Sekolah Dasar Swasta 022 tersebut bisa menampung hingga 90 orang. Tidak hanya anak sekolah yang bisa menggunakan, tetapi semua lapisan masyarakat bisa memanfaatkannya untuk beragam kegiatan, seperti kelas, pertemuan komunitas, perayaan, dan berbagai kegiatan lainnya.
Praktik Nyata Keberlanjutan untuk Ciptakan Ruang Inklusif
Tak hanya bangunan yang memanfaatkan plastik daur ulang, interior yang dipakai juga demikian. Contohnya adalah set meja kursi belajar yang dipakai. Plastik yang ringan dengan mudah dipindah-pindah, tetapi juga ketahanannya terbukti dengan catatan tidak bersinggungan dengan api.
Pendirian bangunan beserta isinya merupakan bagian dari penerapan praktik keberlanjutan yang diterapkan Sambu Group dan SIG. Kedua pihak bermitra sejak 2007. "Melalui Gedung Eco-Sistem Kelapa, menunjukkan bahwa dengan menggunakan bahan daur ulang, kami menciptakan ruang yang ramah dan inklusif bagi masyarakat yang tinggal di Pulau Burung," kata Noer Wellington, Head of Market Indonesia, Malaysia, Vietnam and Philippines at SIG.
"Kami berharap investasi untuk Gedung Eco-Sistem Kelapa ini akan membantu menjadi kontribusi yang bermakna yang akan berfungsi sebagai tempat sosial sekaligus fasilitas pendidikan karena terletak di area sekolah," imbuhnya.
Sementara, Chief Operating Officer PT RSUP M Anton Bagus Asmara menambahkan bahwa fasilitas terbaru di areal perkebunan itu merupakan 'kado' bagi para petani kelapa yang menjadi bagian penting dari perjalanan perusahaan selama 57 tahun. "Kehadiran Gedung Eco-Sistem Kelapa merupakan upaya gabungan untuk menyediakan gedung ramah lingkungan yang bermanfaat bagi penduduk di sekitar pabrik dan perkebunan," ucapnya.
Advertisement
Masalah Sampah Plastik di Indonesia
Dalam kesempatan berbeda, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperingatkan komposisi sampah plastik dapat bertambah, sehingga diperlukan penanganan dan sinergi oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk produsen.
"Kalau kita bekerja business as usual atau biasa-biasa saja dengan kumpul-angkut- buang, tidak ada pengurangan, tidak ada pemilahan, maka kalau kita bicara sampah plastik komposisinya akan meningkat dua kali lipat, dari 19,21 persen di 2023 maka akan menjadi 38,42 persen pada 2050. Tapi mirisnya, untuk bahan baku daur ulang kita masih juga impor dari negara lain," kata Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati di Jakarta, Senin, 7 Oktober 2024.
Pemerintah sebelumnya menetapkan target pengurangan sampai 30 persen dan 70 persen pengelolaan sampah pada 2025. Namun, pencapaiannya masih jauh panggang dari api mengingat berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), total timbulan sampah mencapai 38,2 juta ton pada 2023 dan 38,21 persen di antaranya tidak terkelola.
Vivien meminta agar sinergi antara pemangku kepentingan untuk mewujudkan pengelolaan sampah di Indonesia lebih baik lagi. Semua pihak bertanggung jawab atas setiap sampah yang ditimbulkan. Khusus kepada produsen, ia meminta agar mereka menerapkan prinsip 3R lebih baik lagi.
"Saya minta tolong produsen, yang juga memproduksi barang-barang yang menggunakan wadah, tolong kami dibantu untuk bisa mengurangi sampah, menarik kembali sampah, merancang kembali kemasan," katanya.
Indonesia Penyumbang Sampah Plastik Terbesar Ketiga di Dunia
Sebuah studi baru dari University of Leeds, Inggris, menyoroti skala besar sampah yang tidak diangkut dan pembakaran sampah plastik secara terbuka dalam inventarisasi polusi plastik global. Berdasarkan penelitian tersebut, Indonesia ditetapkan sebagai negara penyumbang sampah plastik terbanyak ketiga di dunia.
Melansir situs web kampus tersebut, Selasa, 10 September 2024, para peneliti menggunakan AI untuk memodelkan pengelolaan sampah di lebih dari 50 ribu kotamadya di seluruh dunia. Model ini memungkinkan tim memprediksi berapa banyak sampah yang dihasilkan secara global dan apa yang terjadi pada limbah tersebut.
Dalam studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature, terhitung 52 juta ton produk plastik mencemari lingkungan pada 2020, yang jika dideretkan dalam satu garis, akan membentang mengelilingi dunia lebih dari 1.500 kali. Studi tersebut juga mengungkap bahwa lebih dari dua pertiga polusi plastik di planet ini berasal dari sampah yang tidak diangkut.
Menurut perkiraan data global pada 2020 dalam studi tersebut, negara-negara penghasil sampah plastik terbanyak adalah India dengan 9,3 juta ton, Nigeria dengan 3,5 juta ton, dan Indonesia dengan 3,4 juta ton. China, yang sebelumnya dilaporkan sebagai negara penghasil polusi plastik terbanyak, kini berada di peringkat keempat, dengan 2,8 juta ton.
Advertisement