Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, terhadap negara-negara Uni Eropa ternyata ikut berdampak pada dunia fesyen. Para penyuka tas mewah harus bersiap-siap menghadapi lonjakan harga dari produk-produk favorit mereka.
Tarif sebesar 20 persen yang dikenakan pemerintahan Donald Trump berdampak pada barang-barang impor dari Erop. Dilansir dari laman WWD, situasi itu memaksa produsen dan pengecer untuk menyesuaikan harga, dan sayangnya, beban ini kemungkinan besar akan dialihkan sepenuhnya kepada konsumen.
Advertisement
Baca Juga
Menurut profesor ekonomi di Florida State University (FSU), Randall Holcombe, pembeli barang mewah cenderung tidak terlalu sensitif terhadap harga. Artinya, produsen dan penjual merasa wajar untuk menaikkan harga sesuai tarif yang dikenakan.
Advertisement
"Kenaikan tarif ini lebih berlaku pada barang-barang mewah dibanding produk lain yang pembelinya lebih sensitif terhadap perubahan harga," terang Holcombe. Dampaknya bakal terasa pada harga produk mewah yang dibuat di Prancis dan Italia, termasuk dari merek-merek terkenal seperti Hermès, Chanel, Dior, Gucci, dan Fendi.
Lalu, seperti apa dampaknya bagi harga tas-tas mewah di pasaran saat ini? Ada beberapa contoh harga tas yang mengalami penyesuaian tarif dan konversinya ke rupiah (dengan kurs estimasi 1 dolar AS = Rp16.000): Salah satunya adalah Chanel Classic Small Bag. Tas berbahan kulit anak sapi dengan logam berwarna emas ini dijual di situs resminya dengan harga awal: USD 10.400 (sekitar Rp166 juta). Setelah tarif impor 20 persen harganya menjadi USD 12.480 (sekitar Rp199 juta)
Lalu ada Fendi Baguette (Jacquard FF denim). Tas jacquard FF dengan efek denim biru ini harga awalnya sekitar Rp55,8 juta. Setelah tari naik menjadi (sekitar Rp67 juta. Ada pula Gucci Jackie Medium. Tas dengan ukuran sedang ini harga awalnya sekitar Rp76,8 juta di situs resminya. Setelah kenaikan tarif Trump 2025 menjadi sekitar Rp92,1 juta.
Dampak Kenaikan Harga Tas Branded
Sedangkan Lady Dior Medium yang termasuk tas ukuran sedang saat ini dihargai sekitar Rp104 juta di situs resminya. Setelah kenaikan tarif menjadi sekitar Rp124 juta. Terakhir ada . Hermès Birkin (entry level). Harga awalnya sekitar Rp192 juta menurut Sotheby's. Setelah tarif baru Trump menjadi sekitar Rp230 juta.
Kenaikan harga ini tentunya mengundang beragam reaksi. Meski pasar barang mewah dikenal tahan terhadap guncangan ekonomi dan untuk kalangan tertentu saja, namun perubahan harga yang signifikan tetap menjadi perhatian.
Ditambah lagi beberapa perusahaan seperti LVMH dan Kering sangat bergantung pada pasar AS, dengan pendapatan dari negara tersebut mencapai 24-25 persen. Meski begitu, Holcombe menilai bahwa tarif ini tidak akan mengguncang pasar barang mewah secara besar-besaran. Ia percaya pembeli setia merek-merek tersebut tetap akan membeli, meski harus membayar lebih mahal karena tarif yang diberlakukan oleh Donald Trump.
Di balik jargon “resiprokal” dan perlindungan industri dalam negeri, ternyata tarif impor tinggi ala Donald Trump punya alasan yang lebih sederhana dari kelihatannya bahkan terkesan sembrono. Indonesia termasuk salah satu negara yang kena getahnya.
Dikutip dari kanal Bisnis Liputan6.con yang melansir dari CNN Business, Minggu. 6 April 2025, kebijakan tarif Trump bukan didasarkan pada analisis tarif aktual atau hambatan dagang nyata, melainkan semata karena defisit perdagangan.
Advertisement
Risiko Perang Dagang
Negara yang mengekspor lebih banyak ke AS dibanding mengimpor langsung dicap sebagai “masalah”. Rumus yang digunakan bahkan dikritik karena terlalu sederhana, yakni defisit dibagi ekspor, lalu dikalikan 1/2.
Padahal, menurut para ekonom, defisit perdagangan bukanlah masalah struktural yang otomatis merugikan. Cara Trump membaca data ekonomi dan memakainya sebagai dasar kebijakan justru menimbulkan risiko perang dagang global.Indonesia sendiri meski tarif MFN-nya tak tinggi tetap masuk daftar target karena dianggap menyumbang pada “ketimpangan” neraca dagang versi Trump.
Sebagian besar dari 15 negara dengan defisit perdagangan tertinggi terhadap AS mengalami tekanan dari tarif tinggi Trump. Termasuk di dalamnya Tiongkok, Vietnam, India, dan negara-negara Uni Eropa, termasuk Indonesia.
Kepala ekonom di RSM Joe Brusuelas, mengatakan masalah utama yang diangkat oleh pemerintahan Trump sebenarnya lebih banyak terkait dengan hambatan non-tarif seperti subsidi industri, regulasi kebersihan, atau sistem birokrasi yang tidak transparan. Namun, para ekonom menilai bahwa pendekatan yang digunakan Trump tidak menyasar akar masalah secara langsung.
“Ini hanya upaya ad hoc untuk menghukum negara-negara dengan neraca dagang besar terhadap AS,” ujar Kepala ekonom di RSM Joe Brusuelas. Padahal, menurutnya, neraca dagang lebih mencerminkan gaya konsumsi dan tabungan domestik AS ketimbang kebijakan perdagangan negara lain.
Pembalasan dari Negara-Negara Mitra AS
Dalam berbagai kesempatan, Trump menyebut defisit perdagangan sebagai krisis nasional yang mengancam pekerjaan dan pabrik dalam negeri. Tapi tidak semua ahli sepakat. Profesor John Dove dari Troy University menyatakan, “Jika saya belanja di toko dan membayar dengan uang tunai, saya mengalami defisit dengan toko itu. Tapi apakah saya rugi? Tentu tidak," ujar Dove.
Defisit, kata para ekonom, hanyalah hasil dari dinamika pasar terbuka, bukan sesuatu yang otomatis buruk. Namun, Trump berargumen bahwa tarif bisa digunakan untuk mengoreksi defisit dan sekaligus meningkatkan pendapatan negara.
Kekhawatiran terbesar dari kebijakan ini adalah pembalasan dari negara-negara mitra. Tarif tinggi AS bisa dibalas dengan tarif serupa, memicu perang dagang yang merugikan semua pihak.
Profesor John Dove memperingatkan, jika negara-negara lain bersatu melawan kebijakan proteksionis AS."Kita bisa berada dalam situasi di mana 25% ekonomi dunia berhadapan dengan 75% sisanya dan saya tahu siapa yang lebih mungkin menang," pungkas Dove.
Advertisement
