Gunung Slamet yang Selamat

Mbah Rono tetap kalem meski Slamet berdentum.

oleh Edhie Prayitno IgeYanuar HIdhad Zakaria diperbarui 14 Sep 2014, 00:19 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2014, 00:19 WIB
Gunung Slamet yang Selamat
Mbah Rono tetap kalem meski Slamet berdentum.

Liputan6.com, Jakarta - Mbah Rono tetap kalem meski Slamet berdentum. Sinar api, semburan lava pijar, dan gempa yang terus terjadi di Gunung Slamet belakangan ini masih masuk dalam akal sehatnya.

Santainya Mbah Rono bukannya tanpa alasan logis. Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang asli bernama Surono itu yakin, Slamet masih bisa diprediksi.

Erupsi Gunung Slamet, kata dia, masih tergolong dalam Skala II Gunung Berapi atau Volcanic Eruption Index (VEI) II. Masih jauh jika ingin dibandingkan dengan letusan dahsyat Gunung Merapi di Sleman Yogyakarta pada 2010 lalu.

Letusan Merapi yang menewaskan ratusan orang -- termasuk sang kuncen Mbah Maridjan -- saat itu mencapai VEI IV. Sementara Slamet, sejak 1772 silam, skala letusannya tak pernah melebihi VEI II.

Tak sampai seperseratusnya Merapi. Apalagi tren letusannya kini mulai menurun. Meski begitu, dia tetap mengimbau warga lereng Slamet untuk tak mendekati radius 4 kilometer dari puncak gunung.

"Artinya, secara total dalam satu periode letusan maksimum 2 juta meter kubik, " ujar Surono di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sabtu (13/9/2014).

"Kalau dibanding Merapi. Sebagai perbandingan Merapi itu VEI-nya 4. Jadi VEI dua ke tiga, 10 kali lipat. Dua ke empat itu 100 kali lipat," imbuh dia.

 

 

Meski berdekatan dengan Gunung Merapi, sambung dia, jenis magma Gunung Slamet sangat berbeda. Gunung Slamet lebih encer, tidak memerlukan daya tekan gas yang besar untuk mendorong magma.

Karena ketika magma keluar tidak memerlukan gas yang banyak, sehingga tidak menimbulkan terjadinya awan panas atau wedus gembel layaknya Merapi.

"Nah kalau magmanya kental seperti Merapi, seperti Kelud itu, kalau sampai ke atas itu perlu energi yang besar. Kalau (magma) ke atas itu mendingin dan mengeluarkan gas banyak sekali, " tutur dia.

"Gasnya semakin lama semakin banyak. Tekanannya semakin tinggi. Begitu mbledos (meletus) gas yang tadinya dari magma temperaturnya 1.300 gasnya paling tidak 800 dapat. Itu yang jadi awan panas," tambah Surono.

Saking amannya Slamet, dia pun mengusulkan agar pemerintah setempat memanfaatkan letusan gunung tersebut sebagai potensi wisata. Proses alam yang tengah terjadi di gunung api ini dinilai bisa menjadi wisata vulkano.

Surono menyebut, wisata vulkano ini bisa dilakukan sesuai dengan jarak aman. Wisata ini aman lantaran Gunung Slamet sangat berbeda dengan Merapi yang bisa mengeluarkan material batu besar. Sementara Gunung Slamet hanya akan mengeluarkan lava pijar.

Setidaknya ada 5 kabupaten yang menjadi tempat berdiam gunung setinggi 3.428 meter itu, yakni Pemalang, Banyumas, Purbalingga, Tegal, dan Brebes.

"Sudahlah seharusnya 5 kabupaten itu promosi," ucap Mbah Rono.

"Nginep di Guci, mana itu Baturaden, Blambangan. Minum nasgitel (panas legi kentel), nonton semburan Slamet kalau masih ada. Atau dengarkan suara dentuman Slamet ya ibarat mercon."

Sementara itu, Ketua Tim Tanggap Darurat Gunung Slamet Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMBG) Syahrazad Dahlan menduga, bergolaknya Slamet terjadi akibat terbukanya kubah lava yang terbentuk pada 2004 lalu.

"Peningkatan aktivitas ini, di antaranya akibat tekanan yang semakin kuat. Kami memperkirakan, kuatnya tekanan gas karena kubah lava sudah mulai terbuka," papar Syahrazad 9 September 2014 lalu.

 

 Ritual Warga

Bergolaknya Slamet ini bukannya tak memakan korban. Hutan lindung yang berada di radius 2 kilometer dari kawah ikut terbakar akibat lontaran lava pijar yang terjadi terus-menerus.

Warga pun mau tak mau waspada. Mereka bahkan menggelar ritual demi ‘ketenangan’ Slamet.

Seperti yang dilakukan warga Desa Limpakuwus, Kecamatan Sumbang, Banyumas, Jawa Tengah. Mereka menggelar acara ritual slametan adat Jawa, salat istigasah, dan tumpengan pada 12 September 2014 lalu.

Warga juga membuat sayur pepaya muda atau biasa disebut dengan 'jangan gandul',  yang merupakan simbol akan harapan lahar gunung Slamet jangan sampai jatuh ke pemukiman penduduk.

"Tetap nggandul (menggantung) tidak jatuh di pemukiman tetapi hanya di sekitar kawah, sehingga tidak mencelakai orang," kata seorang warga, Kyai Sukri Ahmad Muhajir.

Sementara Badan SAR Nasional (Basarnas) Kantor SAR Semarang mengoperasikan Posko Siaga Gunung Slamet di Pemalang, Jawa Tengah. Posko itu mulai beroperasi sejak Jumat 12 September 2014. Terdapat segala peralatan evakuasi, komunikasi, dan perlengkapan darurat medis di dalam posko tersebut.

Menurut Kepala Kantor SAR Semarang Agus Haryono, selain mendirikan posko, pihaknya juga memberangkatkan 1 tim yang berjumlah 12 orang untuk membuka Posko dan bersiaga di Gunung Slamet.

"Sebelumnya kami juga sudah memberangkatkan 1 tim rescue dari Pos SAR Cilacap, dan hingga sekarang juga masih bersiaga di sana," kata Agus.

Meskipun begitu, warga lereng Gunung Slamet di Pemalang, Jateng, tak begitu terpengaruh dengan dentuman tersebut. Mereka yang berada dalam radius 6 kilometer dari puncak gunung itu tetap santai memanen cabai di kebun mereka.

Warga di Pemalang ini seakan membuktikan prediksi Mbah Rono. Meskipun aktivitas Gunung Slamet kian meningkat, namun warga tetap selamat.

"Trennya (letusan) mulai menurun, status masih Siaga. Tapi kalau ada perubahan, itu pasti ada tanda-tandanya. Merapi berubah itu ada tanda-tandanya. Wis toh Gunung Slamet, selamet orangnya. Nggak usah ramai," tandas Surono. (Ali)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya