Liputan6.com, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan penghapusan kuota impor, terutama untuk komoditas yang berkaitan langsung dengan kebutuhan hidup orang banyak seperti daging, bawang putih, dan lainnya.
"Oleh karena itu, wajib ditindaklanjuti dengan mencabut atau merevisi peraturan importasinya oleh kementerian terkait. Kalau tidak dicabut regulasinya, perintah presiden akan sia-sia," ujar Analis Kebijakan Pangan Syaiful Bahari menanggapi rencana kebijakan Presiden Prabowo Subianto terkait penghapusan kuota impor melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin (14/4/2025).
Baca Juga
Dia mengatakan, peraturan yang dimaksud antara lain Permentan Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pemasukan Daging Tanpa Tulang dalam Hal Tertentu ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Permentan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengawasan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura, Permendag Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang diubah menjadi Permendag Nomor 7 Tahun 2024.
Advertisement
""Peraturan-peraturan tersebut berisi pasal-pasal yang mengatur impor daging dan hortikultura," ucap Syaiful.
Selanjutnya, sambung dia, benar bahwa swasta diberi hak impor daging selain BUMN, namun swasta yang ingin impor harus mendapat penetapan penunjukan sebagai pelaku impor dari Kemendag.
Selain itu, lanjut Syaiful, penetapan kuota impor daging diputuskan melalui Rapat Terbatas atau Ratas Kemenko Perekonomian atau Pangan berdasarkan neraca komoditi dari Bapanas.
"Regulasi ini tentu saja menciptakan potensi monopoli impor dan pengendalian harga oleh BUMN atau swasta yang berafiliasi dengan BUMN sebagai distributor," kata dia.
"Pelaku usaha lain di luar BUMN, selain sulit mendapat penunjukan sebagai importir, juga peluang untuk mendapatkan kuota sangat kecil," sambung Syaiful.
Produk Holtikultura
Sementara itu, menurut Syaiful, terkait produk hortikultura, seperti bawang putih atau buah-buahan produk luar, pemberlakuan RIPH dan SPI selama ini seringkali menciptakan gejolak harga di dalam negeri dan disparitas harga yang sangat tinggi.
Regulasi-regulasi tersebut, lanjut dia, dalam prakteknya justru menciptakan ekonomi rente yang merugikan negara dan masyarakat.
"Sebenarnya, peringatan ini sudah disampaikan oleh Ombudsman RI dalam Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan (LHAP) akhir 2023, menyebutkan kerugian masyarakat atas permainan kuota impor bawang putih mencapai Rp4,5 triliun," ucap Syaiful.
"Bahkan, sebelum perang tarif diluncurkan oleh Trump, Amerika Serikat sudah merilis Laporan Estimasi Perdagangan Nasional Tahunan Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United State Trade Representative/USTR) pada Maret 2025 yang menyoroti RIPH sebagai salah satu isu non tarif barrier," sambung dia.
Advertisement
Tak Akan Ganggu Target Pemerintah
Syaiful juga menjelaskan, penghapusan kuota impor tidak akan mengganggu target pemerintah untuk swasembada pangan karena komoditi pangan yang dibebaskan dari sistem kuota impor ini adalah produk pangan yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri atau kalaupun bisa produksinya tidak efisien.
"Tidak ada negara yang seratus persen swasembada, pasti ada yang diproduksi di dalam negeri dan ada yang tidak bisa, karena tanaman sub tropis," kata dia.
"Jadi, kalau ada yang mengatakan penghapusan kuota impor pangan ini akan mengancam produk pertanian lokal, itu salah besar," sambung Syaiful.
Syaiful menyarankan, penghapusan kuota impor sebaiknya diganti dengan tarifisasi dalam batas yang wajar dan variatif tergantung komoditi yang diimpor.
"Hal ini menjadi solusi bagi pemerintah untuk menutupi defisit APBN. Sebagaimana yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani dalam pernyataannya bahwa negara selama ini tidak pernah mendapat pemasukan dari penerapan kuota impor," terang dia.
"Maka, dana tarifisasi yang dihimpun dapat dikembalikan kepada petani untuk program penguatan daya saing produk pertanian dalam negeri, agar Indonesia tidak tertinggal dari negara lain dan konsumen atau industri bisa mendapatkan harga yang terbaik," tutup Syaiful.
