Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha nasional Sandiaga S Uno hari ini mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Kedatangan pemilik Saratoga Group tersebut untuk melihat langsung sidang kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan 2 guru di Jakarta Intercultural School (JIS).
"Saya datang untuk ikut memberikan dukungan terhadap upaya pengungkapan kasus ini. Sebagai orangtua siswa di JIS saya ingin memastikan bahwa sekolah tersebut benar-benar aman dan baik buat anak-anak saya. Karena itu kebenaran dan fakta yang sesungguhnya terjadi di JIS harus bisa terungkap dengan jujur," kata Sandiaga, Jakarta, Selasa (10/2/2015).
Sandiaga mengaku, sejak awal kasus ini muncul dirinya terus mengikuti perkembangannya, baik melalui media maupun diskusi dengan para orangtua siswa lainnya.
Dia ragu dan tidak percaya, sekolah tempat 2 anaknya belajar itu berkasus.‎ Sebab dia sudah mengetahui JIS sejak lama, bahwa sekolah tersebut memiliki sistem pendidikan yang ketat dan penuh kontrol. Termasuk di jenjang SMP dan SMA.‎
Sandi mengaku, dirinya semakin intens mengikuti kasus ini, terutama sejak munculnya berbagai kejanggalan sejak proses penyidikan hingga vonis terhadap para pekerja kebersihan PT ISS. Apalagi salah satu pekerja kebersihan meninggal di Polda Metro Jaya saat penyidikan berlangsung.
Sebagai orangtua murid, Sandiaga berharap proses persidangan berjalan dengan benar. Dari proses yang dia ikuti, baik keluarga pekerja kebersihan PT ISS dan keluarga 2 guru JIS terlihat sangat terbebani.
"Saya sempat lihat tayangan sebuah TV swasta yang memperlihatkan adanya kekerasan pada korban yang meninggal. Berbagai informasi yang berkembang inilah yang membuat orangtua siswa di JIS makin aktif untuk mendukung pengungkapan kasus ini. Semoga aparat penegak hukum dapat mengungkapkan kebenaran itu," ujar Sandi.
Kriminalisasi
Baca Juga
Sandiaga juga berharap pengadilan dapat menjadi tempat yang tepat untuk mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan. Di tengah carut marut persoalan hukum saat ini, penuntasan kasus JIS secara objektif, fair, dan adil akan mampu membangun keyakinan dan kepercayaan publik terhadap hukum.
Pengadilan, kata Sandiaga, juga harus mampu memastikan bahwa yang bersalah dihukum dan membebaskan mereka yang tidak pernah terlibat. Menghukum pihak yang tidak pernah berbuat salah tentu merupakan pelanggaran HAM berat.
Sandiaga juga berharap jangan sampai pengadilan menghukum orang yang tidak pernah berbuat salah, seperti banyak terjadi dalam kasus-kasus pidana yang pernah dia baca di media.
"Saya berharap yang benar harus dibebaskan dan yang salah harus diproses secara hukum. Sebagai orangtua murid saya minta institusi pendidikan jangan sampai dikriminalisasi. Ini adalah ujian bagi hukum di Indonesia, semoga bisa lulus ujian," ujar dia.
Berbagai kejanggalan dalam kasus JIS terus terungkap dalam persidangan 2 guru JIS, yaitu Neil Bentleman dan Ferdinant Tjong. Dr Lutfi dari Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta saat menjadi ahli di persidangan mengatakan, hasil pemeriksaan medis terhadap MAK--salah satu siswa JIS yang diduga menjadi korban kekerasan seksual ini, bukanlah visum yang konklusif, melainkan bersifat hanya sementara.
Sebab, kata Lutfi, pemeriksaan terhadap MAK hanya dilakukan di UGD dan tidak melalui mekanisme visum yang benar. Pada saat pemeriksaan awal, di lubang pelepas MAK ditemukan adanya nanah.
Untuk mengetahui penyebabnya, Lutfi meminta TPW, ibu MAK, untuk melakukan pemeriksaan lanjutan mengenai kondisi si anak. Akan tetapi hal itu tidak pernah dilakukan oleh ibu MAK. Pihaknya tidak pernah melakukan swap atau pengujian terkait nanah di lubang pelepas MAK.
Namun, hasil visum dari RSPI tersebut dijadikan sebagai salah satu dasar pertimbangan majelis hakim untuk menghukum 5 pekerja kebersihan PT ISS dengan hukuman 7-8 tahun dan denda Rp 100 juta. Sehari setelah putusan hakim tersebut berlangsung sidang gugatan perdata ibu pelapor, yaitu TPW ke JIS senilai hampir Rp 1,5 triliun. (Rmn)
Advertisement