Liputan6.com, Jakarta - Peringatan hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus tinggal menghitung hari. Namun, detik demi detik menuju usianya yang ke-70 tahun, berbagai insiden menghampiri.
Di Papua, terjadi insiden penurunan Bendera Merah Putih oleh tentara dari Papua Nugini. 14 tentara dari negeri tetangga itu mendatangi permukiman Yakyu yang terletak di Kampung Rawa Biru, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua. Permukiman tersebut terletak sekitar 1,3 kilometer dari perbatasan antara Merauke dan Papua Nugini.
Mereka meminta warga menurunkan bendera Merah Putih karena wilayah tersebut dianggap masuk kawasan Papua Nugini.
Advertisement
"Ada sekitar 3 Bendera Merah Putih yang sempat diturunkan oleh tentara PNG. Namun saat tentara itu pergi, warga memasangnya kembali," ujar Danrem 174/Anim Ti Waninggap Brigjen TNI Supartodi ketika dihubungi lewat telepon selularnya di Merauke, Jumat 14 Agustus 2015.
Supartodi mengatakan, masyarakat di pemukiman Yakyu sempat diiming-imingi sembako berupa 15 mi instan, 15 kornet dan kembang gula dari tentara Papua Nugini agar Bendera Merah Putih di lokasi tersebut diturunkan.
Assintel Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Arm Syafei Kasno mengatakan, tentara Papua Nugini mengklaim karena daerah itu netral, sehingga harus dikibarkan bendera dari 2 negara, yakni Bendera RI dan Papua Nugini.
Menurut Syafei, saat ini ada penempatan 10 orang di dalam Pos Yakyu untuk menghindari terjadi penurunan bendera Merah Putih kembali. Wilayah itu adalah milik Indonesia, tapi karena ada beberapa warganya yang berasal dari Papua Nugini, maka tentara Papua Nugini minta bendera Merah Putih diturunkan.
"Jika ingin dikibarkan harus bersamaan dengan bendera Papua Nugini," ujar Syafei ketika ditemui di sela kegiatan Loma Kuliner Nusantara dan Fashion Show di Makodam Cenderawasih, Kamis 13 Agustus 2015.
Syafei menjelaskan, saat ini ada 7 kampung yang terletak di perbatasan yang masih mengalami perdebatan soal status kewarganegaraan penduduknya. Ke-7 kampung itu Yakyu, Detto, Diggo, Bankin, Kugo, Mutimangge, dan Lama yang terletak di Distrik Waropoko.
Bukan Wilayah Netral
Danrem 174/Anim Ti Waninggap Brigjen TNI Supartodi mengatakan, wilayah Yakyu adalah wilayah NKRI, bukan daerah netral.
"Yakyu jelas bukan daerah netral. Siapa yang bilang? Saya tegaskan Yakyu adalah wilayah NKRI, sesuai dengan UU No 32/2015 tentang perbatasan di Papua. Semua penduduk di Yakyu juga sudah dilengkapi dengan KTP Indonesia," tegas dia.
Danrem asal Solo ini mengaku juga mengancam akan menembak pihak lain yang masuk wilayah Indonesia tanpa izin resmi, seperti yang dilakukan oleh tentara PNG. Sebab apa yang sudah dilakukan oleh tentara PNG adalah pelanggaran hukum negara.
"Saya bisa perintahkan tembak mereka (tentara PNG) di tempat, jika kejadian itu langsung saya ketahui. Tentara PNG sudah memasuki negara lain tanpa secara ilegal," ujar dia.
Pascakejadian, pihaknya langsung mengukur pemukiman Yakyu dari lokasi netral yang berjarak 1,237 kilometer. Pengukuran dilakukan dengan kompas, lengkap dengan koordinat-koordinatnya.
 Dengan adanya kejadian ini, Korem 174/Anim Ti Waninggap langsung membuat pos permanen yang ditempati oleh anggotanya. "Dulunya hanya pos-pos darurat, sekarang suidah saya perintah pos itu untuk terus ditempati dan anggota tetap waspada," jelas dia.
Supartodi mengatakan, 14 tentara PNG masuk daerah Yakyu dari rawa-rawa di sekitar lokasi pemukiman itu. Warga di Yakyu selama ini juga sering diminta pindah lokasi ke Kampung Rawa Biru, namun warga yang tinggal di Yakyu menolak pindah.
"Masyarakat di Yakyu seringkali diminta pindah oleh warga di PNG, namun warga Yakyu tidak mau karena tanah tersebut adalah hak ulayat mereka. Apalagi warga setempat mempertahankan tanah Yakyu karena tanah itu sangat berdekatan dengan Kampung Weyam di PNG. Jika lokasi Yakyu ditinggalkan, masyarakat takut tanah tersebut dicaplok oleh PNG. Makanya, mereka bertahan di lokasi itu," terang Supartodi.
KTP Papua
Kepala Badan Perbatasan dan Kerja Sama Luar Negeri Suzana Wanggai mengatakan, perintah untuk menurunkan bendera dikarenakan ketidaktahuan aparat terhadap batas-batas wilayah kedua negara.
"Daerah ini masuk wilayah netral. Permukiman Yakyu jelas masuk di wilayah Indonesia, yakni di Kabupaten Merauke. Warga yang menghuni kampung tersebut kebanyakan berasal dari Suku Kanum dari marga Maywa yang pernah melakukan eksodus tahun 80-90-an ke Kampung Weyam, Papua Nugini. Saat ini permukimam tersebut telah dihuni 19 kepala keluarga atau 74 jiwa, sejak 22 Juni 2011," kata Suzana di Jayapura, Kamis 13 Agustus 2015.
Suzana menambahkan, untuk mengatasi hal-hal seperti ini di wilayah perbatasan, peran diplomasi sangat diperlukan kedua negara. Di antaranya akan dibawa ke forum dua negara dan dibahas bersama-sama.
Menurut Susi, situasi di perbatasan Papua dan Papua Nugini lebih kondusif dan jika terjadi masalah masih bisa dibahas dengan komunikasi yang baik. Situasi ini mungkin agak sedikit berbeda dengan wilayah perbatasan Indonesia lainnya, misalnya yang berbatasan dengan Malaysia.
"Warga di permukiman Yakyu sudah mendapatkan KTP dari Pemkab Merauke sejak bulan lalu," ujar Susi.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan akan menelusuri kabar tersebut.
"Saya baru baca dari media massa. Kami akan cari tahu dulu, mengenai peristiwa itu sendiri," ujar Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat, (14/8/2015).
Retno mengaku akan memastikan dahulu di mana peristiwa tersebut terjadi, apalagi kabar yang beredar, wilayah yang dimaksud merupakan wilayah netral antara Indonesia dan Papua Nugini. "‎Kami cari tahu yang pasti dl tempatnya ada di mana, di wilayah siapa. Kami harus pastikan dulu, sebelum kami informasikan keluar," ucap dia.
Teror Bom 17 Agustus
Sementara itu di Solo, Jawa Tengah, Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri menangkap 3 tersangka teroris. Berdasarkan pengakuan para tersangka, mereka akan melakukan aksi pengeboman pada 17 Agustus 2015 di Kota Solo.
Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Noer Ali mengatakan, berdasarkan hasil operasi Densus 88 Mabes Polri di wilayah Surakarta, 3 tersangka teroris ditangkap dan menggeledah 4 lokasi.
"3 tersangka itu adalah Ibad, YZ dan G," kata dia di Mapolresta Solo, Jumat 14 Agustus 2015.
Para tersangka teroris itu, akan melakukan serangkaian teror bom di sejumlah lokasi seperti di tempat ibadah umat Nasrani dan Khonghucu serta kantor kepolisian.
"Target teror dari jaringan ini sudah ditetapkan. Syukur alhamdulillah atas kerja sama kepolisian dan masyarakat, kita bisa mematahkan teror bom yang akan dilakukan pada 17 Agustus itu," ungkap Noer Ali.
Ketiga orang tersangka itu, disebutkan Noer Ali, merupakan anggota kelompok jaringan Badri. Sedangkan Badri telah ditangkap Densus pada tahun 2012.
Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengungkapkan 3 terduga terorisme yang ditangkap Selasa 12 Agustus 2015 itu sudah bersiap untuk melancarkan aksinya, bahkan sudah menyiapkan peledak.
"Mereka sudah merencanakan membuat bom," kata Badrodin di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat 14 Agustus 2015.
Menurut dia, penangkapan para terduga teroris itu berawal dari kecurigaan polisi dengan adanya aktivitas pembelian bahan peledak, maupun bahan lain yang biasa digunakan untuk membuat bom di wilayah Solo.
Setelah teridentidikasi, lanjut dia, polisi langsung menangkap para terduga. Dia pun menduga masih ada beberapa terduga terorisme yang saat ini masih diburu pihaknya.
Ketiganya diduga adalah perakit bom dan diduga terlibat jaringan Islamic State Iraq and Syria (ISIS) di Suriah. Pada penangkapan itu, polisi mengamankan barang bukti berupa 25 liter asam nitrat, 21 buah switching lengkap dengan bahan peledak low exsplosive, beberapa bendera ISIS dan baju ISIS. (Mvi/Ron)
Â