Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput paksa politikus Partai Golkar Budi Supriyanto, tersangka kasus suap pembangunan proyek jalan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dia dijemput paksa pada panggilan ketiganya setelah 2 kali mangkir dalam pemeriksaan.
"Dia dijemput paksa. Nanti sore sampai di Jakarta," ujar Plh Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi, Selasa (15/3/2016).
Namun, Yuyuk tak menjawab di mana Budi dijemput paksa. Kemudian pada pukul 16.20 WIB, 2 mobil Toyota Innova berwarna hitam, membawa Budi ke Gedung KPK di Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Budi yang mengenakan jaket hitam dan baju dengan warna senada, langsung dibawa masuk ke dalam KPK. Namun, pria yang pernah duduk di Komisi V DPR itu tak mengatakan apapun.
Baca Juga
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sudah mengisyaratkan menjemput paksa politikus Golkar Budi Supriyanto setelah 2 kali mangkir.
Dia menegaskan, bisa saja usai dijemput paksa, Budi akan langsung ditahan, lantaran dinilai tidak kooperatif dengan proses hukum yang membelenggunya.
"Kalau dijemput paksa ya harus ditahan. Kalau tidak, itu bukan jemput paksa namanya," ungkap Saut.
Budi mangkir saat dijadwalkan menjalani pemeriksaan pada Kamis 10 Maret 2016. Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha menyebut pihaknya telah mendapatkan keterangan dari Budi mengenai ketidakhadirannya. Budi tidak hadir dengan beralibi sedang sakit.
Priharsa pun menuturkan, dalam surat keterangan dokter yang diberikan Budi melalui kuasa hukumnya itu, justru tidak mencantumkan diagnosis dokter atas penyakit yang tengah diderita. Pada surat tersebut hanya tertulis bahwa Budi perlu beristirahat selama 3 hari.
Atas hal tersebut, penyidik langsung mengkonfirmasi terkait surat keterangan sakit Budi tersebut. Terungkap bahwa pihak Rumah Sakit memang tidak pernah akan memberikan analisis sakit bagi Budi.
Karena dinilai tak beralasan, lanjut Priharsa, penyidik langsung melayangkan surat panggilan ulang kepadanya pada Senin 14 Maret 2016. Dia juga kembali mangkir.
Budi diduga menerima uang sekitar 305.000 dolar Singapura, dari Direktur PT Windu Tunggal Utama, Abdul Khoir. Uang dimaksudkan agar perusahaan Abdul dapat mendapatkan proyek pembangunan jalan. Proyek tersebut diduga berasal dari pos dana aspirasi Budi yang sempat di Komisi V DPR.
Budi juga diketahui sempat melaporkan uang itu sebagai gratifikasi kepada KPK. Namun laporan tersebut kemudian ditolak KPK, bahkan uang tersebut disita Penyidik.