Menko Yusril Pastikan Hukuman Mati Tidak Dihapus, tapi Diperlakukan Ekstra Hati-hati

Jaksa juga diwajibkan oleh KUHP Nasional untuk mengajukan tuntutan hukuman mati dengan disertai alternatif hukuman jenis lain.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro Diperbarui 09 Apr 2025, 19:05 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2025, 19:05 WIB
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra. (Istimewa)
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra. (Istimewa)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan, pidana mati dalam KUHP Nasional tidak dihapus, melainkan ditempatkan sebagai sanksi pidana yang bersifat khusus dan dijatuhkan serta dilaksanakan secara sangat hati-hati.

Selain itu, jaksa juga diwajibkan oleh KUHP Nasional untuk mengajukan tuntutan hukuman mati dengan disertai alternatif hukuman jenis lain, misalnya, hukuman seumur hidup, untuk dipertimbangkan majelis hakim.

"Pemerintah dan DPR memang harus menyusun undang-undang tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati sebagaimana diamanatkan Pasal 102 KUHP Nasional yang baru. Namun secara substansi, ketentuan mengenai pidana mati sebagai pidana khusus telah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 64 huruf c serta Pasal 67 dan 68 KUHP Nasional," kata Yusril Ihza Mahendra melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Rabu (9/4/2025).

Menurut Yusril, pidana mati tidak serta merta dilaksanakan setelah putusan pengadilan. Sebab, KUHP mengatur pidana mati hanya dapat dieksekusi setelah permohonan grasi terpidana ditolak oleh presiden.

"Jadi, memohon grasi atas penjatuhan pidana mati wajib dilakukan baik oleh terpidana, keluarga atau penasihat hukum sesuai ketentuan KUHAP," tutur Yusril.

Yusril menambahkan, Pasal 99 dan 100 KUHP memberi ruang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun. Bila selama masa itu terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, maka Presiden dapat mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup.

Yusril mengungkap hal ini sebagai pendekatan kehati-hatian yang berangkat dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, pidana mati hanya dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan berat tertentu dan tidak boleh dilaksanakan tanpa pertimbangan mendalam.

"Bagaimanapun juga, hakim dan pemerintah adalah manusia biasa yang bisa saja salah dalam memutuskan," tegas Yusril.

Yusril pun mengutip sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bagi seorang hakim, adalah lebih baik dia salah dalam mengambil keputusan dengan membebaskan seseorang, daripada dia salah memutuskan dengan menghukum seseorang. Artinya, jika suatu kesalahan terjadi dalam menjatuhkan dan melaksanakan pidana mati, maka konsekuensinya tidak dapat diperbaiki.

"Orang yang sudah dihukum mati tidak mungkin dihidupkan kembali. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah prinsip yang mutlak," tutur dia.

 

Perdebatan dengan HAM

Presiden Prabowo Subianto saat melangsungkan wawancara khusus dengan Pemimpin Redaksi Liputan6 SCTV, Retno Pinasti di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang.
Presiden Prabowo Subianto saat melangsungkan wawancara khusus dengan Pemimpin Redaksi Liputan6 SCTV, Retno Pinasti di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang. (Dok. Tangkapan layar YouTube Liputan6 SCTV)... Selengkapnya

Terkait dengan perdebatan seputar hak asasi manusia (HAM), Yusril menyatakan sikap terhadap pidana mati sangat tergantung pada tafsir filosofis tentang hak hidup.

Beberapa agama di masa lalu mungkin membenarkan pidana mati berdasarkan doktrin dan hukum agama tersebut, namun dalam perkembangan teologis masa kini, ada pula tafsir baru yang menolak pidana mati.

"KUHP Nasional mengambil jalan tengah antara berbagai pendekatan. Pidana mati dikenal dalam Hukum Pidana Islam, hukum pidana adat, maupun dalam KUHP warisan Belanda. Kita menghormati hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat. Karena itu, kita tidak menghapuskan tetapi merumuskan pidana mati sebagai upaya terakhir yang pelaksanaannya dilakukan dengan penuh kehati-hatian," jelas Yusril Ihza Mahendra.

Sebagai konteks, dalam wawancara bersama pemimpin redaksi media nasional, Presiden Prabowo Subianto menegaskan ketidaksetujuannya terhadap penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Prabowo berpendapat bahwa hukuman mati tidak memberikan ruang koreksi apabila terjadi kesalahan dalam proses hukum.

Prabowo menyatakan bahwa meskipun keyakinan atas kesalahan seseorang mencapai 99,9 persen, masih ada kemungkinan individu tersebut menjadi korban atau dijebak. Oleh karena itu, hukuman mati yang bersifat final tidak memungkinkan perbaikan atas kesalahan tersebut.

Lebih lanjut, Presiden Prabowo menekankan pentingnya pengembalian kerugian negara oleh koruptor dan mendukung penyitaan aset-aset hasil korupsi sebagai langkah yang wajar dalam memberantas korupsi.

Namun, Prabowo juga mengingatkan agar aspek keadilan diperhatikan, sehingga anak dan keluarga koruptor tidak ikut menderita akibat penyitaan harta tersebut. Prabowo menyatakan bahwa dosa orang tua tidak seharusnya menjadi beban bagi anak-anak mereka.

Infografis

Infografis Wacana Hukuman Mati Koruptor Kembali Muncul. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Wacana Hukuman Mati Koruptor Kembali Muncul. (Liputan6.com/Trieyasni)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya