Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Irjen Tito Karnavian mengakui kelompok teroris terus berkembang di Indonesia. Bahkan tak sedikit adanya keterlibatan warga negara asing (WNA) dari Suku Uighur, China yang bergabung dengan kelompok radikal di Indonesia.
Menurut mantan Kapolda Metro Jaya ini, kelompok dan sel-sel terorisme itu semuanya berafiliasi di bawah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Mereka ingin membentuk kekhalifahan secara global di bawah pimpinan ISIS.
‎"ISIS ini mirip seperti Al-Qaeda dulu, mereka memiliki jaringan. Tujuan mereka kan bukan melakukan tujuan lokal di Suriah atau Irak saja, tapi tujuannya membentuk kekhalifan versi mereka, versi dunia dipimpin oleh ISIS," ujar Tito di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin (21/3/2016).
Baca Juga
Keberadaan ISIS, kata Tito, kemudian mendapat sambutan baik dari kelompok-kelompok yang memiliki ideologi serupa. Tak terkecuali kelompok-kelompok radikal yang ada di Indonesia.
"Nah di Indonesia, kelompok-kelompok radikal ini ada yang mendukung ISIS, kita semua sudah tahu. Kemudian di Asia Tenggara saya kira salah satu kelompok yang terpenting yang jaringannya cukup luas terutama di Indonesia,"‎ beber dia.
Lebih jauh, Mantan Kapolda Metro Jaya itu menuturkan,‎ warga Uighur terduga teroris yang ada di Indonesia merupakan anggota kelompok separatis di negaranya. Mereka memanfaatkan situasi global dengan kemunculan kelompok-kelompok radikal yang berafiliasi di bawah ISIS.
‎"Mereka ingin merdeka di China, tapi banyak hal yang berbeda, mulai dari ras, termasuk masalah agama," ucap Tito.
"Sehingga mereka memanfaatkan jaringan itu untuk kepentingan mereka, baik dalam rangka untuk separatisme, kemerdekaan atau otonomi. Atau yang kedua untuk membentuk kekhalifahan global. Tapi saya kira (tujuan) yang utama yang nomor satu," lanjut dia.
‎Selain itu, kelompok separatis Uighur ini melihat jaringan terorisme di Indonesia lebih kuat dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara. 2 Kelompok dari Asia Tenggara ini juga memiliki pengaruh cukup besar di ISIS.
"Mereka saling berinteraksi sehingga dapat membentuk jaringan global. Mereka bisa menggerakan jaringan mereka di negara masing-masing untuk berkoneksi juga," terang Tito.
‎Maka tak heran jika penangkapan terduga teroris yang dilakukan Densus 88 Antiteror di Indonesia seringkali didapati warga Suku Uighur. Tito mengindikasikan bahwa Indonesia dianggap sebagai tempat yang cocok oleh warga Uighur untuk melakukan gerakannya.
"Itulah yang mengakibatkan kelompok-kelompok Uighur yang dianggap kaum separatis di China ini memanfaatkan jaringan di Indonesia untuk bersembunyi, berlatih, maupun tempat berjihad," ‎ungkap Tito.
Mereka yang Ditangkap
Mereka yang Ditangkap
Sejauh ini, ada sekitar 5 orang lebih warga Uighur yang diduga bergabung kelompok teroris di Indonesia yang sudah tertangkap.
Empat di antaranya telah divonis 6 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 2015 setelah ditangkap di Poso, Sulawesi Tengah. Mereka ditangkap pada 2014 karena diduga bergabung kelompok radikal Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di bawah pimpinan Santoso alias Abu Wardah.
1 Lainnya berhasil dibekuk di Bekasi, Jawa Barat pada akhir 2015 lalu. Warga etnis Uighur, China itu diduga disiapkan menjadi pengantin bom bunuh diri pada sejumlah aksi terorisme yang direncanakan pada Desember 2015.
Kemudian 2 terduga teroris yang ditembak mati di Poso pada Maret 2016 kemarin juga disebut-sebut sebagai ‎warga suku Uighur. Namun polisi masih mendalami dugaan tersebut. 2 Jasad itu masih diidentifikasi di RS Bhayangkara, Palu.
"Selama ini yang tertangkap sudah ada 4 atau 5. 4 Orang yang dulu tahun 2014, sudah divonis. Mulai ada 1 yang ada di Bekasi, dan 2 yang tertembak di Poso kemarin," tutur Tito.
Tito juga menjelaskan,‎ sejauh ini belum ada keterlibatan WNA lain di kelompok teroris yang ada di Indonesia, selain suku Uighur, China. "Enggak ada, yang baru kita monitor dari kelompok Uighur," pungkas dia.
Uighur merupakan suku yang hidup di wilayah otonom China, Xinjiang. Namun, warga provinsi tersebut menolak bila mereka disebut bagian dari China. Mereka menamakan wilayah yang mereka duduki sebagai Turkistan.
Advertisement