Peneliti UGM: Koruptor Dapat Subsidi dari Rakyat

Total hukuman finansial yang diberikan ke koruptor hanya 10,42 persen dari jumlah kerugian negara atau Rp 21,26 triliun pada 2001-2015.

oleh Rita Ayuningtyas diperbarui 07 Apr 2016, 12:10 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2016, 12:10 WIB
Ilustrasi Kasus Korupsi
Ilustrasi Kasus Korupsi

Liputan6.com, Jakarta - Sudah jatuh tertimpa tangga. Gara-gara korupsi negara merugi. Hukuman yang diberikan kepada mayoritas koruptor pun jauh lebih rendah dari kerugian negara yang diakibatkan.

Nilai kerugian negara selama 2001-2015 diperkirakan Rp 203,9 triliun. Namun, total hukuman finansial yang diberikan ke koruptor hanya 10,42 persen atau Rp 21,26 triliun. Ini belum termasuk biaya sosial korupsi.

Hal tersebut terungkap dalam penelitian Laboratorium Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada.

"Hukuman finansial kepada terpidana korupsi tajam ke bawah tapi tumpul ke atas," sebut para peneliti, Rimawan Pradiptyo, Timotius Hendrik Partohap, dan Pramashavira dalam laporan penelitiannya yang dikutip Liputan6.com dari cegahkorupsi.feb.ugm.ac.id, Kamis (7/4/2016).

Koruptor kelas gurem dengan nilai korupsi di bawah Rp 10 juta, dihukum rata-rata 3,428 persen lebih tinggi dari kerugian negara yang diciptakan. Sementara koruptor kelas kakap dengan korupsi Rp 25 miliar ke atas, hanya dihukum rata-rata 8,3 persen dari nilai kerugian negara.

Para peneliti menyebut, kerugian negara yang tidak dikembalikan koruptor kelas kakap seolah mendapat subsidi oleh rakyat.

"Lalu siapa yang menanggung kerugian sebesar Rp 203,9 triliun-Rp 21,26 triliun = Rp 182,64 triliun tersebut? Tentu saja para pembayar pajak yang budiman," tulis para peneliti.

Pembayar pajak yang mereka maksud antara lain ibu-ibu pembeli susu formula, mahasiswa dan pelajar yang membeli buku teks, orang sakit yang membeli obat-obatan, serta generasi di masa datang.

Padahal, uang Rp 182,64 triliun dapat digunakan untuk menggratiskan biaya BPJS hingga Rp 60.000 per bulan, membangun 600 rumah sakit standar internasional atau guna meluluskan 182.000 magister luar negeri atau 45.500 doktor luar negeri, serta meluluskan 546.000 sarjana dengan standar PTN top Indonesia.

Dana itu bisa juga digunakan untuk membangun jalan tol sepanjang lebih dari 10.000 km atau membangun MRT sepanjang 202 km. Bisa pula guna membangun 182 stadion sepakbola standar internasional dan membiayai 20 orang Rio Haryanto selama 40 tahun.

Oleh karena itu, "Perlu revisi UU Tipikor agar hukuman yang diberikan kepada para terpidana korupsi menjadi proporsional dengan biaya sosial korupsi yang ditimbulkannya," saran peneliti.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya