Liputan6.com, Jakarta - Konflik itu berjarak 1.600 kilometer di timur laut Jakarta pada sebuah kota yang terkungkung riak pegunungan di selatan dan dijilat ombak Teluk Tomini di Utara. Poso, kota kecil di Sulawesi Tengah, lebih terkenal lantaran konflik yang membakar sejak 1,5 dekade lampau.
Sejarah konflik di Poso dimulai melalui konflik vertikal antara dua kelompok agama pada 1998. Perseteruan berdarah antara sesama anak bangsa—kelompok muslim dan nasrani—itu sempat padam melalui perjanjian Malino pada 2001. Namun perjanjian damai masih menyisakan dampak konflik. Dendam dan amarah masih menggumpal di batin sejumlah warga.
Advertisement
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Tito Karnavian menjelaskan, sebagian kelompok yang terlibat dalam kerusuhan Poso tak puas dengan penyelesaian konflik. Ketidakpuasan inilah, katanya, yang memupuk bara ekstremisme setelah konflik.
“Ada pihak tertentu, terutama dari warga muslim yang tidak puas dengan penyelesaian yang ada. Mereka masih teringat konflik masa lalu. Dendam peristiwa di Wolusongo misalnya, dan di Desa Buyung Katedo, di mana warga muslim ada yang meninggal cukup banyak di sana, kemudian mereka menuntut penyelesaian hukum khusunya. Tapi saat itu ada perjanjian Malino,” kata Tito Karnavian kepada Liputan6.com, Minggu, 3 April 2016 di Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Amarah dan dendam sisa konflik inilah, Tito melanjutkan, yang perlahan menjadi dasar lahirnya kelompok teror. Sebagian bekas kombatan kerusuhan Poso menjadi kelompok utama yang mengusung ketidakpuasan. Apalagi, bekas kombatan ini telah terlebih dahulu disisipi kelompok ekstrem yang menularkan pemahaman agama dengan unsur kekerasan. Kelompok ekstrem tersebut adalah Jamaah Islamiah (JI).
Kelompok ekstrem skala Asia Tenggara ini dipimpin Abu Bakar Baasyir dan hadir di Poso demi bergabung dengan kelompok muslim. Lewat bantuan makanan, dana, hingga pelatihan militer, Jamaah Islamiah lamat-lamat mempengaruhi anggota kelompok muslim bersenjata. Jamaah Islamiah sendiri belakangan melahirkan organisasi sempalan tingkat Indonesia yaitu Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).
Salah satu eks kombatan muslim, Andi Baso Thahir alias Ateng, mengatakan dia dan rekannya tidak menyadari kehadiran Jamaah Islamiah. Ateng mengatakan, kelompok muslim saat itu tak berpikir banyak soal dukungan dari kelompok mana pun. Dia beralasan kelompok muslim berada dalam posisi terpojok dalam kerusuhan Poso.
“Kami adalah pihak yang terdesak ketika konflik poso terjadi. Jadi apapun yang datang dari manapun, dalam bentuk bantuan, kami terima. Kami malah bingung ketika di televisi, Jamaah Islamiah bermain di Poso. Jamaah Islamiah ini apa?” kata Ateng.
Jamaah Islamiah melalui sempalannya, Jamaah Ansharut Tauhid, belakangan dikenal sebagai aktor di balik berbagai insiden pengeboman di Indonesia. Kelompok ini menyasar aset dan warga negara asing sebagai target teror. Di Poso, kelompok ini menanamkan benih-benih ekstremisme.
Perlahan tapi pasti, benih tersebut tumbuh di Poso. Salah satu eks kombatan muslim yang terbakar oleh paham ekstrem ini adalah Santoso alias Abu Wardah. Santoso di kemudian hari ditunjuk Jamaah Ansharut Tauhid menjadi Ketua Laskar Asykari atau sayap militer organisasi itu di Poso.
Mantan Kepala BNPT Ansyaad Mbai dalam bukunya Dinamika Jejaring Teror di Indonesia menuliskan Imron Baihaqi alias Abu Tholut, menjadi orang yang menunjuk Santoso sebagai Ketua Laskar Asykari JAT Poso. Abu Tholut sendiri disebut sebagai penanggung jawab pelatihan militer di Jantho, Aceh, pada 2010. Santoso pun didorong untuk menggelar pelatihan militer pada 2011 dan 2012. Pelatihan inilah yang tanpa disadari menjadi bahan bakar dalam bara teror di kota yang bertajuk Sintuwu Maroso ini.
Santoso kemudian mengembangkan kelompok teror sendiri yang bernama Mujahidin Indonesia Timur. Kelompok ini melakukan serangkaian aksi perampokan, pengeboman, dan pembunuhan di Sulawesi Tengah, termasuk Poso. Pada 2012, Kepolisian memburuh kelompok Santoso. Dia pun melarikan diri ke hutan yang terletak 30 kilometer di barat Poso.
Santoso bergerilya bersama 30 orang yang sebagian di antaranya merupakan alumni pelatihan militer 2011 dan 2012. Enam gelombang operasi gabungan yang melibatkan 2.000-3.000 aparat keamanan digelar sejak 2014 untuk mengejar Santoso dan kelompoknya. Pengejaran Santoso paling mutakhir bertajuk Operasi Tinombala yang berlangsung sejak awal 2016.
Mencari Jejak Sang Peneror
Jejak ekstremisme yang tumbuh dan berkembang di Poso, tak bisa dilepaskan dari konflik horizontal 1998 hingga 2005. Konflik tersebut mengundang sejumlah kelompok radikal Islam berdatangan ke Poso. Kurun 1998-2001, kelompok radikal ini datang silih berganti dan menawarkan sejumlah bantuan makanan hingga pelatihan militer. Bekal ilmu dari pelatihan militer inilah yang dimanfaatkan Santoso. Lelaki kelahiran 1967 ini tercatat melatih hampir 100 peserta dalam enam pelatihan yang digelar JAT Cabang Poso pada 2011 dan 2012. Lokasi pelatihan yang dipilih Santoso berada di kawasan Gunung Biru.
Tim Liputan6.com mencoba menelusuri kawasan Gunung Biru, yang kini dijadikan lokasi persembunyian kelompok MIT pimpinan Santoso. Butuh waktu sekitar 120 menit untuk sampai di kawasan Napu, yang berada di kaki Gunung Biru. Di kawasan Napu ini pula, Pos Komando Taktis (Poskotis) Operasi Tinombala, berdiri.
Perjalanan dimulai dengan mengarah ke barat Kota Poso, melewati daerah Bandara Kasiguncu, dan mulai memasuki Desa Tangkura. Di desa ini, terdapat pos penjagaan pertama yang dijaga personel Brimob. Desa Tangkura ini menjadi salah satu desa yang menjadi sasaran serangan bom termos. Aksi dilakukan anggota MIT sekaligus wakil Santoso, Basri alias Bagong. Di sepanjang jalan menuju Napu, jalan terjal nan sempit dan licin, serta hamparan hutan rindang yang tanpa penerangan jalan, membentang. Tak hanya itu, kondisi medan jalan pun cukup berliku lantaran banyak tikungan tajam. Butuh ekstra hati-hati buat menuju pos berikutnya.
Pos berikutnya yang didatangi tim Liputan6.com berada di Desa Sangginora. Di desa ini, terdapat pos penjagaan kedua. Portal di pos ini tidak tertutup, aktivitas penjagaan pun tidak nampak. Di wilayah ini, empat anggota Santoso dengan menenteng senjata api pernah memperlihatkan diri, dua hari sebelum tim Liputan6.com, datang. Keempat anggota ini diduga sedang mencari persediaan logistik.
Tim kemudian melaju ke pos ketiga yang berada di Hae. Pos ini dijaga lima personel gabungan TNI-Polri. Di pos inilah, akses menuju Napu dibuka. Kondisi alam sepanjang Hae menuju Napu sangat indah. Jalan yang dilintasi tim Liputan6.com, berada di tengah hamparan padang rumput yang begitu luas. Sejumlah bukit kecil nan indah membentang di depan mata. Warga sekitar menyebut bukit tersebut sebagai bukit Teletubies. Tim Liputan6.com akhirnya tiba di pos terakhir yang berada di Desa Watutau.
Di pos inilah, tim gabungan TNI-Polri membangun pos komando pengejaran Santoso Cs. Beberapa bangunan pemerintahan seperti kantor desa hingga kantor kecamatan, diperbantukan sebagai pos komando. Meski demikian, beberapa tenda juga tetap didirikan untuk beberapa keperluan pasukan. Meski menjadi lokasi pemusatan komando taktis, Napu bukanlah wilayah yang steril dari masyarakat. Aktivitas warga masih tampak di sekitar pos. Petugas TNI-Polri pun akrab berinteraksi dengan masyarakat.
Tim gabungan mendeteksi, Santoso kini berada di salah satu tempat di kawasan Napu, tepatnya di hutan Pegunungan Biru. Lebih kurang 37 kilometer jarak membentang dari Poso ke lokasi persembunyian Santoso di kawasan Napu. Tapi, jarak yang membentang bukan alasan buat Santoso Cs menghentikan teror. Perlawanan terhadap pemerintah, dalam hal ini TNI-Polri terus ditebar bapak lima anak ini. Santoso terus bergerilya di hutan yang berada di pegunungan tersebut.
Komjen Pol Tito Karnavian mengakui, medan pegunungan dan hutan yang lebat menjadi halangan dalam pengejaran. Meski begitu, Tito menyebut, operasi Tinombala yang merupakan kelanjutan dari Operasi Camar Maleo I-IV, sudah banyak membuahkan hasil. Salah satunya, putusnya jaringan logistik Santoso. Hal inilah yang kini menjadi kesulitan tersendiri buat 31 daftar pencarian orang (DPO) anggota Santoso.
“Dua bulan terakhir ini sudah cukup banyak penangkapan, dan kelompok ini jauh melemah sekarang. cuma, medan yang sekali lagi masih menjadi hambatan. Kita harapkan teman-teman operasi terus berlanjut, sampai dengan pelaku Santoso Cs ini bisa tertangkap,” tutur Tito.
Advertisement
Tempat Teroris Bersemayam
Maraknya teror yang melanda Poso pada 2012 hingga 2015 membuat kota tersebut mendapat perhatian khusus. Teror di Poso, tak serta merta terlepas dari kehadiran kelompok-kelompok radikal dari luar Poso. Kepala BNPT Komjen Tito Karnavian mengakui, persentuhan ideologi antara warga dan kelompok radikal pendatang, menjadi salah satu pemicu ekstremisme tumbuh subur di Poso. Tito yang pernah bertugas di Poso pada 2005 hingga 2007, tahu betul bagaimana konflik horizontal kini berubah menjadi konflik vertical. Dalam hasil penelitiannya yang dipublikasikan dalam buku Indonesian Top Secret: Membongkar Konflik Poso, Tito tak menampik, jaringan Islam ekstrem bermain di Poso.
Bekas Kapolda Metro Jaya ini mengidentifikasi, dendam dan amarah masyarakat Poso pascakonflik, menjadi hal yang dimanfaatkan kelompok ekstrem seperti Jamaah Islamiyah, KOMPAK, Laskar Jundullah, bahkan Negara Islam Indonesia. Kelompok ini melihat, dendam dan amarah adalah peluang yang bisa digunakan. Apalagi, kelompok ini memiliki agenda mendirikan Negara sendiri.
“Kelompok-kelompok ideologi yang berasal dari luar ini, memanfaatkan Poso karena masyarakatnya masih marah dan dendam, yang kedua karena tempat ini ingin dijadikan Qaidah Aminah yaitu tempat aman yang akan jadi cikal bakal suatu negara versi mereka sendiri dalam skala nasional,” ujar Tito.
Pendapat Tito tak dipungkiri Ateng. Eks kombatan sekaligus rekan Santoso selama Konflik Poso ini mengakui, kelompok ekstrem dan radikal dari luar Poso inilah yang juga memanfaatkan kelompok muslim bersenjata selama konflik. JI, kata Ateng, menjadi salah satu kelompok yang menyokong perseteruan mereka dengan kelompok Nasrani. Ateng ingat betul, JI memberikan banyak bantuan.
Ateng pun ingat, dukungan kelompok ekstrem ini pun mengubah pola dalam kelompoknya. Menurut Ateng, perubahan terjadi ketika memasuki fase 2000 hingga 2005. Di tahun-tahun itu, aksi penyerangan desa Kristen makin sering dilakukan. Tak hanya itu, penembakan dan pemboman misterius pun terjadi.
Ateng sempat menyadari, langkah kelompoknya sudah jauh target awal, yakni mempertahankan nyawa dalam konflik. Tapi saat itu, kata Ateng, dia dan teman-temannya tak menyadari, JI dan kelompok ekstrem lain juga memberikan pengaruh ekstrem seperti terhadap Santoso Cs, hari ini. Belakangan, Ateng menyadari, tujuan awal sudah jauh dari semula. Bahkan, kelompok ekstrem seperti JI bertujuan menerapkan syariat Islam. Ateng pun tak sepakat dan memilih mundur dari kelompok muslim bersenjata. “Yang paling mendasar yang membuat saya keluar, karena saya takut ditangkap,” kata Ateng.
Pendapat serupa disampaikan Adnan Arsal, tokoh masyarakat dari Tanah Runtuh. Wilayah Tanah Runtuh merupakan pusat Jamaah Islamiyah di Poso. Di tempat tersebut, polisi dan kelompok Islam garis keras pernah baku tembak. Adnan mengakui, kelompok ekstrem Islam memberikan jejak pemikiran ekstrem bagi sejumlah anggota kelompok bersenjata semasa konflik. Adnan mengakui, Santoso yang kini dikenal dengan nama Abu Wardah, adalah satu di antara orang yang terpengaruh.
Meski sama-sama pernah sepemikiran saat konflik, Adnan yang kini mengurus Yayasan Wakaf Amanatul Ummah di Tanah Runtuh itu mengatakan, ide kekerasan yang diusung Santoso dan kelompoknya sudah tak relevan. Adnan lebih sepakat, solusi atas masalah yang ada di Poso diselesaikan lewat jalur hukum. Sebab, dendam yang masih bersemayan di hati korban konflik, tak bisa diselesaikan dengan jalur kekerasan seperti yang saat ini ditempuh Santoso Cs.
“Kalau kita menggunakan kekerasan terus menerus, berapa kira-kira yang harus jatuh korban. Sampai kapan kita mau susah seperti itu. Padahal kita masih bisa tempuh jalur lain, ke ranah hukum,” kata Adnan.
Pendapat Adnan diamini Suwarni, istri pertama Santoso. Ibu tiga anak ini menghendaki Santoso kembali ke rumah dan tak lagi menebar teror. Sebab, sudah empat tahun dia dan ketiga anaknya ditinggal Santoso. Terlebih, Suwarni merasa dirinya dan ketiga anaknya menjadi korban ekstremisme Santoso. Sebab kini, dia harus banting tulang sendiri mencari nafkah untuk keluarga. “Ya, begitu (menjadi korban). Apalagi anak-anak kangen, bertanya kapan Abinya pulang,” ucap Suwarni.