Liputan6.com, Jakarta - Namanya Haji Chaerudin, tapi orang-orang lebih akrab memanggilnya Babeh Idin. ‎Kecintaannya pada sungai sejak kecil membuat namanya lekat dengan Kali Pesanggrahan hingga kini. Dia bahkan dijuluki sebagai Pendekar Kali Pesanggrahan.
Babeh Idin merupakan salah satu sosok penting di balik terciptanya ‎Hutan Kota Sangga Buana yang ada di pinggiran Ibu Kota, tepatnya di Karang Tengah, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan. Areal hijau seluas 120 hektare ini berada di bantaran Kali Pesanggrahan.
‎Kisah perjuangannya bermula sekitar awal 1980-an. Saat itu Idin muda kesal melihat sungai yang merupakan tempat dia bermain kala masih kecil rusak parah. Sampah berserakan di mana-mana, air berwarna kehitaman, dan bau busuk menyengat dari Kali Pesanggrahan.
Sebagai bentuk kekesalannya, Idin kemudian ‎menyusuri Kali Pesanggrahan seorang diri dari hulunya di Gunung Pangrango hingga ke muaranya sepanjang 136 kilometer.
"Kenapa cinta sungai? Karena sungai awal peradaban manusia hidup," ujar Babeh Idin mengawali perbincangan dengan Liputan6.com di kawasan Hutan Kota Sangga Buana, Jakarta Selatan, Senin, 20 Juni 2016.
Dalam perjalanannya yang menyita waktu hampir sepekan itu, Idin mendapatkan banyak pelajaran berharga.‎ Salah satunya fenomena pembangunan rumah di bantaran yang selalu membelakangi sungai. Akibatnya, sungai tak dihargai dan kerap dijadikan tempat membuang sampah.
‎"Kalau sungai itu marah ya jangan salahin kalinya. Karena lu cara membangunnya yang salah," kata dia.
Advertisement
‎
Dari sana, Babeh Idin kemudian tergerak untuk membangun Kali Pesanggrahan mulai dari sekitar tempat tinggalnya sendiri. Setiap hari ia membersihkan sungai yang ada di dekat rumahnya.
Kendati tujuannya baik, aksi nyata Idin tak selalu berjalan mulus. Beberapa warga tetap saja membuang sampah ke Kali Pesanggrahan. Tak sedikit warga yang mencemooh dan menganggap Idin gila. Namun, itu tak membuatnya patah arang.
Suatu ketika, sang pendekar sungai ini dibuat kesal dengan ulah orang kaya yang kerap membuang sampah ke Kali Pesanggrahan sekalipun sering diperingati. Dia kemudian mengambil sampah-sampah yang dibuang dan meletakkannya di depan rumah orang kaya tersebut.
Peristiwa itu sempat membuatnya bersitegang dengan warga. Namun dengan segala argumentasi dan penjelasannya, warga mulai mengerti. Tak sedikit warga sekitar akhirnya mendukung kegiatan Babeh Idin dan turut membangun Kali Pesanggrahan, hingga terbentuk Kelompok Tani Sangga Buana.
Kel‎ompok tani ini kemudian mengelola lahan di sekitar bantaran Kali Pesanggrahan yang kini kawasan tersebut dinamai Hutan Kota Sangga Buana. Di dalamnya terdapat aneka ragam flora dan fauna. Bahkan, di sana terdapat tempat pengolahan sampah dan laboratorium.
‎
"Sampai sekarang warga masih membersihkan sampah di sungai. Enggak ada target harus selesai berapa hari, tapi memang itu sudah kegiatan rutin," tutur Babeh Idin.
Dalam sehari, sampah yang terkumpul bisa mencapai 15 truk. Sampah tersebut kemudian diolah secara mandiri hingga tak tersisa.
‎"Kalau enggak gue bendung tuh sampah, mungkin pesawat di Bandara Soekarno-Hatta ‎udah hanyut tuh ke Pulau Seribu. Lu bayangin aja, sehari 15 truk sampah yang diblokir," ucap dia.
‎Babeh Idin dan anggota kelompok tani Sangga Buana memiliki prinsip kerja nyata dan ikhlas. Mereka tidak pernah ingin menjadi terkenal. Mereka juga tidak pernah mengemis ke pemerintah untuk mendapatkan sumbangan dana.
"Karena bagi kami, 'setitik embun punya nilai di padang pasir'. ‎Enggak perlu tampil, yang penting aksi nyata dan manfaatnya. Itu kan mental jawara," ucap Babeh Idin.
‎"Pendekar itu kan artinya pandai, derma, karya. Itu pendekar. Kalau jawara itu bukan artinya mukul orang mati kelenger. Tapi lurus, ikhlas, berani, benar, dan tawadu'. Mental sang jawara itu gitu," kata Babeh Idin.