Liputan6.com, Jakarta - Ahli Patologi Forensik yang dihadirkan kubu terdakwa Jessica Wongso, Djaja Surya Atmadja, mengatakan penyebab kematian Wayan Mirna Salihin bukan karena efek dari sianida.‎
"Matinya bukan karena sianida," tutur Djaja dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).
Baca Juga
Menurut dia, jika memang sianida yang menyebabkan kematian Mirna, maka racun tersebut harusnya ditemukan di sejumlah organ tubuh lainnya.
Advertisement
"Bicara soal sianida, di sekeliling kita sebenarnya banyak sianida. Dari rokok, ada sianida. Bakar sampah ada sianida. Kopi ada sianida. Polusi ada sianida. Sianida itu berbahaya dan sampai mematikan, kalau kadar yang masuk ke tubuh itu dalam jumlah besar. Kalau memang keracunan sianida, pasti akan ditemukan banyak tertinggal, baik di lambung, empedu, sampai di hati," beber dia.
"Kalau sedikit (sianida) tidak ada gejala karena ada enzim rodanase. Jadi akan dibawa ke hati, dihancurkan di hati detoksifikasi. Itu akan dibuang melalui urine. Kalau sianida masuk banyak, rodanase tidak sanggup menghancurkan itu," Djaja melanjutkan.
Kesimpulan itu didapat dari adanya barang bukti sianida di lambung Mirna yang hanya ditemukan 0,2 miligram. Jumlah temuan tersebut, menurut dia, masih dalam batas kewajaran.
"Jadi, sianida yang membunuh seseorang itu jumlahnya harus banyak, 150 miligram sampai 250 miligram. Dan itu menguap di seluruh tubuh. Kalau tidak ada di lambung, saya simpulkan (Mirna) mati bukan karena sianida," terang dia.
Ketua Tim Penasehat Hukum Jessica yakni Otto Hasibuan kemudian memaparkan hasil temuan sianida dari ahli forensik, yang dihadirkan jaksa sebelumnya.
Tercatat, ada lebih dari 7.000 miligram per liter sianida terkandung di es kopi Vietnam yang sempat diminum Mirna.
"Kalau tidak meninggal karena sianida, itu bagaimana dengan surat tersebut? Kan jelas ada tertulis di kopi positif ion sianida 7.400 dan 7.900 miligram per liter," tanya Otto kepada Djaja.
"Itu tidak mungkin, Pak. Saya sering melakukan penelitian dengan mahasiswa saya. Kalau kadar sianidanya sampai segitu, orang yang ada di ruangan saat itu pasti kolaps. Minimal pada pingsan. Kecuali kalau orang di dekat-dekat sana pada tahan nafas," jawab Djaja.
Djaja merupakan dokter DNA pertama di Indonesia. Dia fokus membidangi identifikasi DNA dan juga mendalami toksikologi terkait pestisida dan sianida.
Jika dihitung sejak tahun 1987, dokter forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) itu telah menangani hampir 3 ribu kasus pemeriksaan mayat.
Di antaranya adalah kasus identifikasi serdadu Jepang dalam Perang Dunia ke-2 di Papua dan juga kasus Bom Bali 1 pada 2002.