Mantan Ketua Komnas HAM Sebut Kasus Ahok Sulit Dibuktikan

Sementara unsur-unsur kesalahan yang harus dibuktikan adalah bersifat abtraks, karena berkaitan dengan 'alam pikiran' (mind).

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 15 Des 2016, 06:31 WIB
Diterbitkan 15 Des 2016, 06:31 WIB
Sidang Perdana Ahok
Foto-foto sidang perdana ahok. (Pool/CNN Indonesia/Safir Makki/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Basuki Tjahaja Purnama didakwa melakukan penistaan agama oleh jaksa penuntut umum (JPU). Pria yang akrab disapa Ahok itu didakwa melanggar Pasal 156 a KUHP.

Namun, kasus yang menimpa Ahok disebut sangat sulit dibuktikan kesalahannya. Hal itu disampaikan mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2007-2012, Ifdhal Kasim.

Menurut dia, untuk dapat dipidananya seseorang, tidak cukup hanya karena orang tersebut melanggar aturan hukum. Orang tersebut juga harus mempunyai kesalahan atau mens rea.

Mens Rea adalah sikap batin pelaku perbuatan pidana. Mens rea mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau keadaan psikis pembuat

"Kesalahan yang dapat berupa kesengajaan atau kealpaan, merupakan unsur utama dalam criminal responsibility. Kesalahan ini terletak di alam batin atau pikiran orang. Dengan demikian untuk adanya kesalahan, yang dapat dipidana, terdakwa harus secara komulatif; melakukan tindakan pidana yang melanggar hukum, di atas umur tertentu dan dapat bertanggung jawab. Mempunyai bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf," tulis Ifdal dalam buku Catatan Akhir Tahun Hukum dan HAM 2015-2016, yang diluncurkan PDIP, Rabu (14/12/2016), di Jakarta Pusat.

Karenanya, dia menuturkan, dalam kaitan delik agama terkait kasus Ahok, semua syarat dan asas hukum pidana, seharusnya digunakan untuk melandasi proses penegakkan terhadap pelanggaran delik ini.

"Di sinilah kita akan menghadapi banyak hambatan, sebab pada delik-delik agama, norma hukumnya cenderung bersifat kabur karena terkait dengan suatu proses penilaian mengenai sifat, perasaan atas agama, kehidupan beragama, dan beribadah yang sifatnya subyektif. Sementara dalam beberapa pasal yang ada penjelasannya sekalipun tetap tidak jelas maknanya," ungkap Ifdhal.

Hambatan lain yang jauh lebih besar adalah, lanjut dia, terkait dengan pembuktian unsur-unsur kesalahan. Sementara unsur-unsur kesalahan yang harus dibuktikan adalah bersifat abtraks, karena berkaitan dengan 'alam pikiran' (mind).

"Selain terkait dengan penilaian terhadap nilai-nilai agama atau kepercayaan. Tidak semua orang memiliki persepsi yang sama tentang nilai-nilai agama, karena tergantung pada aliran keagamaan yang diikuti oleh yang bersangkutan," beber Ifdhal.

Dia pun mempertanyakan, apakah hambatan-hambatan dalam penegakannya ini telah didiskusikan dengan matang oleh para perancangan RUU KUHPidana ini. Karenanya, lanjut Ifdal, perlu aparat penegak hukum yang bersih dan berwibawa. Serta saksi ahli yang hadir adalah tokoh agama yang tidak memihak terkait kasus Ahok.

"Karena selain diperlukan aparat penegak hukum yang profesional, bersih, dan berwibawa, juga tak kalah pentingnya adalah peranan saksi ahli. Yang terdiri dari tokoh-tokoh agama yang tidak berpihak pada satu doktrin, sangat diperlukan dakam rangka menyelesaikan kasus-kasus yang terkait dengan delik-delik agama," dia memungkasi.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya