Journal: Prostitusi yang Sukar Mati

Pemerintah mencanangkan Indonesia bebas dari prostitusi pada 2019. Tapi, masih banyak lokalisasi prostitusi yang beroperasi dalam senyap.

oleh Audrey SantosoRiki Dhanu diperbarui 18 Jan 2017, 18:01 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2017, 18:01 WIB
Prostitusi
Seorang PSK Menunggu Pelanggan di Gang Sadar, Purwokerto (Liputan6.com/Balgoraszky A. Marbun)

Liputan6.com, Jakarta - Kamis, 19 Juni 2014, teriakan perlawanan menggema di sebuah gang di kawasan Jarak, Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Asalnya dari warga yang biasa beraktivitas di gang tersebut. Mereka satu suara, menolak penutupan lokalisasi prostitusi di Gang Dolly.

Penutupan Gang Dolly sebelumnya tak pernah terpikirkan warga. Bisnis esek-esek di kawasan tersebut sudah puluhan tahun berlangsung, sehingga ekonomi warga ikut bergeliat karenanya. Kawasan tersebut sejak 1970-an meriah dengan macam-macam tempat hiburan yang ditata gemerlap.

Keadaan berbeda kini didapati kala kami berkunjung ke sana. “Sekarang kumuh,” kata Amin kepada Liputan6.com pada pertengahan Desember 2016. Amin merupakan bekas pemilik kafe dan wisma yang dulu beroperasi di Gang Dolly. Saat penutupan terjadi, ia menjadi bagian dari masyarakat Dolly yang melawan.

Bangunan Bekas Wisma Prostitusi di Kawasan Gang Dolly (Liputan6.com/Balgoraszky A. Marbun)

Penutupan kawasan prostitusi terbesar se-Asia Tenggara itu tak lepas dari rencana pemerintah untuk mewujudkan Indonesia bebas pelacuran. Kementerian Sosial yang menjadi core sector program tersebut mencatat ada 19.726 pekerja seks komersial (PSK) yang mengais rezeki di 134 zona lokalisasi seluruh Indonesia pada September 2016.

Angka tersebut tampaknya belum bisa berkurang. Sebab, kawasan prostitusi yang sudah ditutup rupanya masih ada celah untuk beroperasi. Salah satunya seperti yang Liputan6.com temukan di Dolly. Kompleks prostitusi termegah di Surabaya itu ternyata masih beroperasi dalam senyap.

Amin bertutur, banyak bekas pemilik wisma yang masih menjalankan bisnisnya dengan sistem kucing-kucingan alias sembunyi-sembunyi. Namun saat ada razia, mereka memilih tiarap. Sistem ini sudah berjalan empat bulan setelah prostitusi di Gang Dolly ditutup hingga sekarang.

“Terus terang kita enggak akan takut,” kata Amin menambahkan.

Kampanye Antiprostitusi di Gang Dolly (Liputan6.com/Balgoraszky A. Marbun)

Ucapan Amin rupanya bukan main-main. Liputan6.com sempat menelusuri jalanan sepi di kawasan Dolly saat malam hari. Seorang lelaki tiba-tiba mulai mendekati mobil yang dinaiki. “Mau cari cewek, Bos?” pertanyaan itu meluncur dari mulut sang lelaki.

Tanpa tedeng aling-aling, lelaki tersebut menuturkan dirinya menjadi perantara buat para pria yang mencari layanan dari para PSK. Sejenak kemudian, sang lelaki berjalan menjauh dan masuk ke dalam sebuah gang. Lantas, si lelaki mengabari jika pekerja seks sedang tak bisa beroperasi.

“Harusnya sore tadi. Habis kena tangkep. Besok saja, besok ada,” ucap sang lelaki.

Bisnis pelacuran di kawasan itu kini tak semeriah dulu. Tak ada lagi perempuan yang duduk di sofa atau di balik kaca jendela tanpa gorden. Pemandangan yang sekilas mengingatkan pada akuarium. Meski begitu, prostitusi di kawasan itu, tak benar-benar mati.

 

Pengais di Puing Dolly

Saat Gang Dolly sedang jaya-jayanya, Amin termasuk orang yang meraup rupiah. Meski tak mau menyebut berapa omzet harian dari kehidupan malam, Amin mengatakan duit yang diperolehnya kala itu sangat banyak.

Ani, atau karib disebut Mami Ani, pun sama. Bekas germo ini sempat punya wisma dengan 10 pintu dan lebih dari lima pekerja seks. Setelah Gang Dolly ditutup, janda dengan satu anak ini membuka toko kelontong yang menjajakan rokok, minuman ringan, dan aneka snack.

Ani mengatakan, ditutupnya Gang Dolly membuat ia harus banting tulang. Sebab, duit jadi sulit datang. “Dulu walau pun risikonya besar, tapi kehidupan ekonomi masih bisa tercukupi, bisa menyekolahkan anak. Sekarang susah,” kata Ani.

Kawasan Lokalisasi Prostitusi di Gang Dolly Sudah Ditertibkan pada 2014 (Liputan6.com/Balgoraszky A. Marbun)

Mami Ani menuturkan, ia kini mencari rezeki di bangunan bekas wisma yang sekaligus rumahnya, Wisma Harum Manis. Setelah dua tahun berlalu, wisma itu tampak kuyu seperti kehidupan penghuninya.

Ruang depan wisma kira-kira berukuran 7x10 meter. Teras lantai dari keramik putih sudah tampak menguning. Sementara keramik merah marun yang terpasang di dinding pun terlihat kumal. Cat kuning yang menempel di tembok malah sebagian sudah mengelupas.

Sebuah sofa dengan busa lapuk dan kulit pecah-pecah berada di ujung kanan ruangan. Dahulu sofa itu menjadi tempat duduk PSK sebelum tamu datang minta dilayani. Terkadang, tamu juga duduk di sofa itu untuk menunggu ‘giliran’.

Kawasan Gang Dolly Selepas Penertiban (Liputan6.com/Balgoraszky A. Marbun)

Barang-barang itu masih dipertahankan Ani. Bukan lantaran selalu ingin mengingat masa lalu. Namun, karena tak bisa membeli barang baru. Jangankan membeli barang baru, kata Ani, mencari duit buat makan mulai susah.

“Saya bingung mau ngapain. Semua teman jualan seperti saya sekarang. Tapi enggak ada orang yang lewat,” ujar Ani.

Kegelisahan Ani dan Amin nyatanya bukan tak direspons Pemerintah Kota Surabaya. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pernah mendorong sejumlah kegiatan melalui dinas-dinas terkait. Bahkan, Pemkot Surabaya memberikan subsidi kepada warga yang mau beralih profesi.

Bekas Bangunan Karaoke yang Terbengkalai di Gang Dolly (Liputan6.com/Balgorazky A. Marbun)

Iwan, bekas preman di Gang Dolly, mengakui adanya bantuan dari Pemkot. Sayang, kata dia, tak banyak yang berhasil. Alhasil, mereka mencoba bertahan. Meski tak jarang, ada warga yang kembali menekuni bisnis prostitusi sembari kucing-kucingan dengan petugas keamanan.

“Kalau bisa, satu Surabaya ini lebih baik dibuat rumah musik di sini. Kalau masalah prostitusi ya nanti biar aparat yang memantau. Penginnya warga seperti itu,” kata Iwan menuturkan.

Mengelola ala Gang Sadar

Impian lepas dari prostitusi mungkin seperti utopia. Setidaknya, itu yang tampak di Gang Sadar, Baturraden, Purwokerto, Jawa Tengah. Gang Sadar mirip Gang Dolly. Yang membedakan, gang ini tak ingar-bingar. Tak ada wisma dan tempat karaoke macam di Gang Dolly.

Seperti umumnya kawasan prostitusi, Gang Sadar menjadi tempat mangkal pekerja seks. Namun, ada paguyuban yang menaungi pekerja seks di kawasan ini. Paguyuban ini punya banyak aturan. Salah satunya, melarang aktivitas seksual di kawasan tersebut. Dengan demikian, fungsi Gang Sadar hanya menjadi tempat untuk memilih PSK.

Berdasarkan penuturan para pegiat paguyuban, tempat itu menjadi lokalisasi prostitusi sejak 1973. Darkim, salah seorang pengurus paguyuban yang menaungi pekerja seks, menuturkan awalnya ada tiga rumah yang menjadi tempat mangkal PSK. Selang 19 tahun, mulai tercetus pentingnya prostitusi ditata.

“Tahun 1992, mulai terbentuk kepengurusan paguyuban,” ucap Darkim kepada Liputan6.com.

Gang Sepanjang 30 Meter yang Menjadi Lokalisasi Prostitusi (Liputan6.com/Balgoraszky A. Marbun)

Darkim bertutur paguyuban ini punya fungsi mengontrol dan memelihara pekerja seks di lingkungan Gang Sadar. Kedua fungsi yang dilakukan seperti membangun sistem tabungan, penyuluhan dan pemeliharaan kesehatan, serta pendampingan mental buat pekerja seks di lingkungan tersebut.

Ketiga fungsi tersebut masih dilakukan hingga saat ini. Menurut Darkim, paguyuban kerap melakukan pertemuan pada tanggal 10 dan 20 di setiap bulannya. Pertemuan itu, kata dia, buat membahas apa yang terjadi dalam sebulan terakhir. Tak hanya itu, pertemuan juga menjadi arena untuk berbagi keluh di antara pekerja seks.

Buat menjaga lingkungan dan rasa nyaman masyarakat, Darkim menuturkan, paguyuban menerapkan aturan terkait perilaku anggota Gang Sadar. Seperti, mendata keluar masuk PSK dan pelanggan, melarang berpakaian seksi, merokok, dan meminum minuman keras di kawasan Gang Sadar.

Lokalisasi Sudah Beroperasi Sejak 1973 (Liputan6.com/Balgoraszky A. Marbun)

Aturan ini dibuat setelah Gang Sadar sempat ditutup total selama 40 hari pada 2001. Saat itu, warga resah dan minta Gang Sadar ditutup. Namun, kata dia, penutupan tak menjadi solusi. Pekerja seks dari Gang Sadar malah menjamur keluar gang dan mangkal di jalanan dan sekitar Baturraden. Prostitusi menjadi tak teratur dan membuat masyarakat di sekitar Gang Sadar menjadi resah. Sebab saat itu, jumlah PSK di kawasan tersebut mencapai 250-an.

“Akhirnya, warga setempat menyilakan prostitusi, tapi disatutitikkan di Gang Sadar. Dengan catatan harus kondusif,” kata Darkim.

Data yang diperoleh Liputan6.com, saat ini ada 120 PSK dengan 40 rumah yang menjadi tempat tinggal mereka. Jumlah ini menurun dari 250-an PSK pada 2001-2002. Pekerja seks ini datang dari sejumlah tempat. Mereka menetap di Gang Sadar dengan sebutan “anak kos”.

Tanda ADA Menunjukkan PSK Tersedia di Gang Sadar (Liputan6.com/Balgoraszky A. Marbun)

Kania, salah seorang “anak kos” di Gang Sadar, menuturkan ia sudah menetap selama satu tahun lebih di Gang Sadar. Perempuan asal Bandung, Jawa Barat ini menerangkan, Gang Sadar berbeda dari tempat lain. Sejumlah aturan yang diterapkan paguyuban, kata Kania, dirasa menenangkan.

Kania bahkan menyebut aturan-aturan itu membuat banyak teman-teman seprofesi yang berada di luar Gang Sadar merasa iri. Sebab, pekerja seks di Gang Sadar tak pernah kena razia. “Kalau mereka yang di luar kan kena razia-razia,” kata Kania.

Soal keamanan dan kenyamanan ini diakui Wiwin, pekerja seks lain di kawasan itu. Perempuan yang pernah mangkal di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat ini menuturkan, di Gang Sadar terdapat aturan mengikat. Hal lain yang membuat beda antara Gang Sadar dengan lokasi prostitusi lain adalah perlakuan terhadap pekerja seks. PSK, kata dia, tak dianggap sebagai budak seks semata. Melainkan sebagai seorang manusia yang juga layak diperlakukan dengan baik.

“Ya beda, sampai gimana gitu. Di sana, bebas sih. Kalau di sini kan kita dijaga, ada pengasuhnya juga,” tutur Wiwin, yang sedikit pilu menceritakan masa lalu.

Apa pun ceritanya, prostitusi tetap menjadi musuh bagi pemerintah. Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Sonny W Manalu mengatakan, masyarakat dan pemerintah harus melawan prostitusi, apa pun alasannya.

Menurut Sonny, angka pekerja seks di Indonesia merupakan yang paling besar di dunia pada 2013-2014. Di tahun tersebut, ada 168 lokalisasi prostitusi dengan jumlah PSK mencapai 45 ribu lebih. “Angka yang luar biasa dan menyedihkan,” ujar Sonny.

Untuk itu, Sonny mengatakan, pemerintah tetap punya rencana membersihkan prostitusi. Meskipun, hal itu mustahil dilakukan. “Menghilangkan tidak, tapi kita bisa punya suatu visi. Kalau bisa suatu waktu kita hilangkan Indonesia tidak punya prostitusi, kan punya impian. Soal kapan, kita menuju terus ke visi itu,” kata Sonny menegaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya