Liputan6.com, Jakarta Kasus penistaan agama yang menjerat nama Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok, terus bergulir. Ahli hukum pidana Universitas Udayana I Gusti Ketut Ariawan menyatakan dua pasal dalam KUHP yang disangkakan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kasus penodaan agama, tidak tepat.
Menurut I Gusti Ketut Ariawan, Pasal 156 KUHP sebetulnya bukan delik terhadap agama, tetapi delik terhadap golongan atau penduduk. Sedangkan Pasal 156a KUHP, memang memuat mengenai penodaan agama, namun perlu dilihat historinya. Pasal itu, menurutnya keluar dalam kerangka penyelamatan negara Indonesia dari munculnya aliran
kepercayaan yang dianggap membahayakan agama di Indonesia.
Baca Juga
Oleh karena itu, penyelesaian kasus dugaan penodaan terhadap agama, ucap I Gusti Ketut Ariawan, harus tetap merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Advertisement
"Kenapa? Karena judul dari pada undang-undang itu adalah pencegahan berarti preventif, bukan represif," kata Gusti.
Ahli psikologi sosial yang juga merupakan Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial, Risa Permana Deli menyatakan bahwa tuduhan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait pidatonya yang menyinggung Surat Al Maidah ayat 51 bias.
"Kenapa bias? Karena tiba-tiba masalah gugatan tersebut hanya merujuk pada bahasa. Jadi masalah yang dipersoalkan adalah memakai kata pakai atau tidak," kata Risa.
Menurutnya, apabila dilihat seluruh konteks kalimat yang diucapkan, yang dipersoalkan Ahok adalah iklim pilkada yang membodohkan masyarakat, bukan mempersoalkan agama. "Ketika mendengarkan kalimat tersebut sebetulnya yang dipersoalkan terdakwa bukan masalah agama, tetapi dia mempersoalkan iklim politik dari pilkada yang membodohkan
masyarakat," tuturnya.
Lebih jauh dikatakan Risa Permana Deli, permohonan uji materi soal Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009 dan 2012, tidak dikabulkan dan dinyatakan tetap berlaku.
"Penyelesaian terhadap Pasal 156a itu berlaku ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 khususnya Pasal 2 Ayat( 1)," ujarnya.
Ia pun menjelaskan, seharusnya yang diberlakukan dalam kasus Ahok adalah Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tersebut.
"Tetapi ini kan dianggap tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, jadi saya tidak sependapat seperti itu," ucapnya.
(*)