Perbedaan Kasus Makar Jilid I dan II

Kurang dari setengah tahun, penyidik Polda Metro Jaya telah menangani dua kasus dugaan pemufakatan makar.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 04 Apr 2017, 07:37 WIB
Diterbitkan 04 Apr 2017, 07:37 WIB
Ilustrasi makar. (Liputan6.com)
Ilustrasi makar. (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kurang dari setengah tahun, penyidik Polda Metro Jaya telah menangani dua kasus dugaan pemufakatan makar. Penangkapan terhadap sejumlah orang dengan tuduhan makar itu pertama kali dilakukan pada Jumat 2 Desember 2016 dini hari atau sesaat sebelum Aksi 212 berlangsung.

Penyidik Polda Metro Jaya kembali menangkap sejumlah orang dengan tuduhan serupa pada Jumat 31 Maret 2017 dini hari. Penangkapan itu juga dilakukan jelang pelaksanaan unjuk rasa yang disebut Aksi 313.

Aktivis Hatta Taliwang yang merupakan salah satu terduga makar jilid I memiliki pandangan tersendiri soal tudingan yang dilakukan rezim Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan ini. Menurut dia, tudingan pemufakatan makar jilid I dan II berbeda.

"Saya sih sesama bis kota dilarang mendahului lah ya. Jadi enggak enak, enggak etis lah komentar," ujar Hatta saat disinggung mengenai kasus yang menjerat Sekjen FUI Muhammad Al Khaththath Cs, di Mapolda Metro Jaya, Senin 3 Maret 2017.

Hatta sempat dituding melakukan upaya makar bersama putri mantan Presiden Sukarno, Rachmawati Soekarnoputri. Sebab dia beberapa kali diketahui mengikuti pertemuan bersama sejumlah tersangka makar jilid I itu. Namun Hatta hanya dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Kita kan beda case, beda derajat, beda kualitas masalah, beda data, beda info. Jadi enggak bisa disamaratakan," tutur dia.

Menurut dia, konteks tuntutan Rachmawati Cs yang dianggap makar adalah mengembalikan UUD 1945 ke asli. Mereka juga hendak menemui pimpinan DPR dan MPR melalui pertemuan yang legal. Namun ia enggan berkomentar mengenai tuntutan Al Khaththath Cs yang dianggap makar.

Hatta hingga saat ini masih dikenakan wajib lapor seminggu sekali. Dia ditetapkan sebagai tersangka dugaan penghasutan melalui media sosial berdasarkan Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 ayat 2 UU No 11 Tahun 2008 Tetang ITE. Namun penahanannya ditangguhkan.

Mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengaku pasrah dengan status tersangka yang disandangnya. Hatta juga enggan berkomentar banyak mengenai status hukum dirinya dan rekan-rekannya yang ditangkap pada Jumat 2 Desember tahun lalu.

"Gini saja, kita enggak tahu arah, karena ini peristiwa politik. Jadi kita enggak bisa bilang harus begini, begitu. Enggak bisa kaya kasus hukum biasa. Jadi terserah negara," ucap Hatta.

11 Aktivis dan tokoh nasional ditangkap jelang Aksi 212 pada awal Desember 2016 lalu. Mayoritas dari mereka dituding melakukan pemufakatan makar. Sebagian lainnya dituding melakukan penghinaan terhadap penguasa.

Para tersangka yang ditangkap yakni Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko, Alvin Indra, Sri Bintang Pamungkas, Jamran, Rizal, dan Ahmad Dhani.

Beberapa hari kemudian, Hatta ditangkap karena diduga terlibat upaya makar bersama mereka. Namun setelah menjalani pemeriksaan, Hatta hanya ditetapkan sebagai tersangka kasus ITE lantaran mengunggah hasil pertemuan bersama Rachmawati Cs.

Jelang Aksi 313 yang berlangsung Jumat 31 Maret 2017 kemarin, penyidik Polda Metro Jaya menangkap lima aktivis dengan tuduhan pemufakatan makar. Mereka yakni Sekjen FUI Muhammad Al Khaththath, Zainuddin Arsyad, Irwansyah, Dikho Nugraha, dan Andry.

Kelima orang tersebut merupakan aktivis yang terlibat dan memiliki pengaruh dalam Aksi 313. Kini kelima tersangka itu masih ditahan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengungkapkan, dalam pertemuan di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, para tersangka menyusun rencana. Aksi makar itu akan dilakukan di Gedung DPR setelah Pilkada DKI putaran kedua.

"Di (pertemuan) situ sampai terinci, masuk ke Gedung DPR-MPR ada beberapa jalan yang dilewati. Ada juga caranya untuk menabrakkan kendaraan truk di pagar belakang DPR," ujar Argo di Mapolda Metro Jaya, Senin (3/4/2017).

Tak hanya itu, mereka juga telah memiliki gambaran akses Kompleks Parlemen yang bisa dimasuki massa aksi. Setidaknya ada tujuh pintu Gedung DPR-MPR yang bakal digunakan massa untuk merangsek masuk ke dalamnya.

"Kemudian juga (melewati) gorong-gorong, jalan setapak. Jadi dengan asumsi bahwa kalau semua massa sudah masuk ke Gedung DPR, akan kesulitan didorong keluar. Ini juga ada pemufakatan dan niat (makar)," beber dia.

Namun polisi masih menggali keterangan dari para tersangka terkait siapa yang memiliki ide merangsek ke Gedung DPR. Polisi menduga kelima tersangka itu memiliki peran penting dalam upaya menggulingkan pemerintahan sah.

"Itu sudah ada perencanaan dan berkaitan pertemuan di situ," ucap Argo.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya