Liputan6.com, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami informasi soal mekanisme penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI. Kali ini, penyidik menggali informasi tersebut ke Mantan Menko Perekonomian era Presiden Megawati, Dorodjatun Kuntjoro Jakti.
"Kami dalami proses pengambilan keputusan tidak hanya dilakukan Ketua BPPN tapi ada proses lanjutan sebelum SKL itu diterbitkan," tutur Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan, Kamis (4/5/2017).
Terkait pengusutan kasus tersebut, ia mengatakan, penyidik KPK perlu memeriksa para mantan menteri dan pejabat. Sebab, dalam kapasitas Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) ada keputusan yang harus didalami.
Advertisement
"Ada keputusan bersama yang juga harus didalami. Sejauh mana secara prosedural itu terjadi dan seperti apa penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan," beber Febri.
Selain itu, KPK juga akan mendalami peran KKSK dalam penerbitan SKL tersebut.
"Untuk penerbitan surat SKL perlu ada keputusan-keputusan ada pembahasan sebelumnya. Ada sejumlah instansi jabatan yang harusnya tahu alur penerbitan SKL, kami tangani penerbitan SKL tetap harus dilakukan meski ada kewajiban Rp 3,7 triliun. Itu yang akan kita dalami," jelas jubir KPKÂ ini.
Sebelumnya usai diperiksa penyidik KPK selama 4 jam, Dorodjatun enggan menjawab pertanyaan para wartawan soal materi pemeriksaannya hari ini.
"Enggak bisa lah, enggak bisa," kata Dosen FE UI itu saat ditanya materi pemeriksaan hari ini di Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan.
Dalam kasus ini KPK telah memeriksa mantan Menko Ekuin Rizal Ramli. Saat diperiksa, Rizal mengaku ada yang salah dalam proses kebijakan dan pelaksanaan terkait 48 bank saat krisis moneter terjadi.
KPK juga sudah menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) sebagai tersangka. Terkait atas kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI itu, diduga kerugian negara hingga Rp 3,7 triliun.
Syafruddin disangkakan KPK melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.