Liputan6.com, Jakarta - Wajah para nelayan di Pulau Pramuka berbinar. Siang itu, 27 September 2017, para nelayan dari berbagai Pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu berkumpul di tempat pelelangan ikan, di tepi pantai Pulau Pramuka.
Terik matahari tak mengurungkan niat para nelayan untuk menghadiri undangan Dinas Perikanan DKI yang mengajak bekerja sama budidaya ikan kerapu.
Baca Juga
"Sistem kita 80:20, bapak ibu (ambil) 80 persen, yang 20 persen untuk koperasi," ujar Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok, saat itu.
Advertisement
Namun, tawaran Ahok tak membuat para nelayan tertarik. Melihat reaksi datar nelayan, Ahok lantas teringat kasus di kampungnya, Bangka Belitung, dahulu, saat Pilgub Babel 2007.
Meski warga suka program yang ditawarkan, mereka mengaku tak dapat memilih Ahok. Maka, terucaplah kata-kata itu. Kalimat yang menjerat Ahok ke kasus penistaan agama hingga kurungan dua tahun penjara.
"Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, enggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa enggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, enggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu," kata Ahok saat itu.
"Program ini (budi daya kerapu) jalan saja. Jadi Bapak Ibu enggak usah merasa enggak enak karena nuraninya enggak bisa pilih Ahok," dia melanjutkan.
Tak ada protes atau penolakan dari warga saat mendengar perkataan Ahok itu. Semua berjalan normal setelah pidato itu, bahkan nelayan bertepuk tangan, berebut selfie dengan Ahok.
Esok harinya, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) yang pertama kali melaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI, terkait pernyataan Ahok yang mengutip surat Al Maidah.
Ahok, seperti biasa, tak mau ambil pusing dengan laporan ACTA. "Semua orang boleh mengutip kitab suci. Kitab suci terbuka untuk umum," kata Ahok di Balai Kota Jakarta, Rabu 28 September 2016.
Bagi Ahok, dilaporkan dan didemo adalah "makanan" sehari-harinya. Menurut dia, tak ada yang salah dengan pernyataan mengutip ayat suci itu.
Hingga pada 7 Oktober 2016, Ikatan Pemuda Muhammadiyah (IPM) melaporkan Ahok ke Polda Metro Jaya. Laporan itu dilakukan 10 hari usai kunjungan Ahok ke Pulau Pramuka, dengan membawa video yang telah diedit Buni Yani.
Desakan pelaporan itu didorong dengan demo massa 411 atas tuduhan penistaan agama, hingga membuat kata maaf keluar dari bibir Mantan Bupati Belitung Timur itu.
"Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau apa," kata Ahok di Balai Kota, 10 Oktober 2016.
Namun, permintaan maaf Ahok tak digubris. Hal itu terlihat dari munculnya aksi lanjutan menolak Ahok yang dikenal aksi 212. Massa menuntut agar Ahok dipenjara.
Meski didemo besar-besaran, Ahok tetap menjalani kampanye pilkada dengan antusias dan tersenyum. Tak kalah antusias dengan warga yang selalu mengerubungi di tiap blusukan Ahok.
Namun, pada 13 Desember 2016, senyum Ahok mulai hilang. Di depan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, tangis Ahok tumpah.
"Saya sangat sedih dituduh menista agama Islam, karena tuduhan itu sama saja saya dituduh menista orangtua dan kakak angkat saya yang sangat saya sayangi, dan mereka sangat menyayangi saya," ujar Ahok dengan suara tercekat menahan tangis.
Irit Bicara
Sidang kasus penistaan agama berjalan seiring dengan lolosnya Ahok ke putaran kedua Pilkada DKI 2017. Saat itulah, Ahok berubah. Tak ada lagi Ahok si banyak bicara, yang ada adalah Ahok si irit bicara.
Jadwal kampanye rahasia ditambah perubahan sikap dan gaya bicara Ahok pun dilakukan. Sebab, masyarakat lebih suka sikap santun daripada galak seperti Ahok yang biasa dikenal.
Lucunya, perubahan sikap Ahok justru menjadi bahan tertawaan istrinya, Veronica Tan. Di mata sang istri, Ahok seperti kehilangan ruhnya karena jadi pendiam.
"(Ubah gaya bicara) bukan strategi baru. Tapi masyarakat kita suka orang santun, ya sudah buat apa kita pakai kata kasar lagi? Istri malah ketawain, dia bilang kok kayak bukan kamu," ujar Ahok saat menyambangi Liputan6 di SCTV Tower Jakarta, Kamis 8 Desember 2016.
Perubahan sikap dan kekompakan Ahok bersama pasangannya, Djarot Saiful Hidayat, rupanya tak mampu menarik kembali suara warga Jakarta. Ujungnya, Pilkada DKI 2017 putaran kedua, Ahok-Djarot kalah telak dari Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Kekalahan dalam Pilkada DKI 2017 tak mengurangi semangat Ahok bekerja. Ahok juga tetap menerima pengaduan warga tiap pagi sebelum dirinya mengikuti sidang kasus penistaan agama.
Kekalahan di Pilkada juga tak menyurutkan semangat Ahok untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah penista agama.
Di sidang pleidoi, Ahok menyebut dirinya bagaikan seekor ikan nemo. Nemo adalah sosok ikan yang berani melawan arus. Begitu juga dengan Ahok yang percaya bahwa apa yang dia lakukan bukan seperti yang diasumsikan sebagian masyarakat.
"Jadi orang tanya sama saya, kamu siapa? Saya bilang saya hanya seorang ikan kecil, Nemo, di tengah Jakarta seperti itu. Ini pelajaran untuk kita, lalu disambut tepuk tangan anak-anak," kata Ahok pada sidang ke-21, 25 April 2017.
Dalam puluhan sidang yang dilaluinya, tak ada keluhan keluar dari bibir Ahok. Menjelang sidang vonis, dia pasrah dan berharap Tuhan menunjukkan bahwa dirinya tidak menista agama.
Hingga pada 9 April 2017, majelis hakim memutuskan Ahok terbukti menista agama Islam dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara.
Tak ada kata pamit atau air mata dari Ahok saat digiring ke Rutan Cipinang, siang itu. Dengan wajah tenang dan penuh senyum, Ahok justru menunjukkan lambang perdamaian atau dua jari, setibanya di rutan yang berada di Jakarta Timur itu.
Advertisement
Banjir Dukungan
Hukuman penjara dua tahun serta tangisan maupun demo pendukungnya tak membuat Ahok bersedih. Hanya satu hal yang membuat Ahok shock, yaitu telepon singkat dari dari anak bungsunya.
"Papa pulang tidak?" pertanyaan itulah yang membuat Ahok bergeming.
Air mata justru mengalir dari para pendukungnya. Aksi dukungan dalam bentuk ribuan karangan bunga hingga menyalakan lilin terus terjadi di berbagai sudut kota, mulai Jakarta hingga ke sejumlah kota di Tanah Air, bahkan belahan dunia.
Pada tiap aksinya, pendukung setia Ahok menuntut pembebasan orang nomor satu di Jakarta itu. Mereka percaya Ahok tidak menista agama dan banyak berjasa membawa Ibu Kota menjadi lebih baik. Vonis terhadap Ahok dinilai sarat kepentingan politik.
Itulah Ahok, si Nemo yang terus berusaha melawan arus. Dari balik penjara, Ahok tak meminta dukungan dan demo pada pendukungnya. Ahok justru meminta pendukungnya pulang dan tidak menunggunya di luar penjara.
Di antara para pendukung yang melakukan aksi, ada yang membawa poster bertuliskan kata-kata Ahok. Kalimat itu mungkin mewakili suara Ahok saat ini. "Kamu bisa penjarakan saya, tapi tidak ide-ide saya."