Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Mayor Jendral TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra, mengatakan masuknya unsur TNI dalam pemberantasan terorisme bukan berarti mengambil alih penegakan hukum yang selama ini dilakukan Polri.
"Tapi bersinergi. Ada saatnya polisi di depan, TNI mem-back up, bukan membantu tapi mem-back up karena TNI sudah punya tugas sendiri. Ada kalanya TNI di depan, Polri mem-back up," kata Supiadin saat ditemui di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, (Senin, 29/5/2017).
Supiadin menilai, selama ini kesulitan TNI untuk melakukan tugas non-perang karena terhambat belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang khusus mengatur hal tersebut. PP ini, menurut Supiadin, harus dari pihak Kementerian Pertahanan yang membuat peraturannya dan mengajukannya ke Presiden.
Advertisement
"Sampai sekarang kesulitan TNI itu dari 14 tugas non-perang itu belum ada satu pun PP-nya. Siapa yang buat PP? Ya pemerintah," jelas Supiadin.
PP tersebut nantinya mengatur lebih rinci mengenai pasal-pasal yang ada di dalam perundangan terorisme.
"Contoh misalnya tentang kasus pidananya. Kalau pidana itu sudah diatur dalam KUHP maka tidak mungkin di UU Terorisme kita bikin pidana sendiri sehingga terjadi over lap, tidak mungkin," mantan Pangda Udayana ini menjelaskan.
Sementara itu anggota Pansus Revisi UU Terorisme dari fraksi PPP, Arsul Sani menilai mayoritas fraksi di DPR setuju untuk menegaskan peran TNI dalam Undang-undang Terorisme yang baru nanti.
"Saya kira begini, semua fraksi sepakat bahwa peran TNI kita tegaskan. Hanya kemudian rumusan norma yang harus kita rumuskan lagi. Karena sesuai usulan pemerintah, peran TNI hanya melakukan perbantuan kepada polisi dalam penanggulangan terorisme," kata Arsul.