Liputan6.com, Jakarta - Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Revisi UU Terorisme), Muhammad Syafi'i, menilai pihak-pihak yang mempersoalkan TNI dalam pemberantasan terorisme sebenarnya tidak memahami undang-undang.
"Ini sudah matang dibahas baik dalam pansus maupun panja. Banyak masyarakat yang tidak tahu dan ada yang mempersoalkan keterlibatan TNI karena mereka tidak paham undang-undang," kata dia saat ditemui di Gedung Nusantara II DPR/MPR RI, Gelora, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2017).
Syafi'i menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 72 disebutkan, ada 14 operasi militer selain perang, satu di antaranya adalah memberantas teroris.
Advertisement
"Oleh karena itu sebenarnya tanpa undang-undang ini pun TNI sudah memiliki kewenangan," ujar anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra ini.
Dalam revisi UU Terorisme, Syafi'i menilai, perlu adanya harmonisasi kewenangan antara TNI dan Polri dalam memberantas terorisme.
"Juga tupoksi yang ada di LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), kemudian bisa satu nafas di dalam Undang-Undang ini agar lebih sederhana, agar lebih mudah pelaksanaannya, dan lebih cepat penanganannya," beber dia.
Alasan perlunya melibatkan TNI, Syafi'i menambahkan, karena kini aksi teroris sudah mengancam pertahanan negara, yang terkait hal itu TNI memiliki kewenangan menangani.
"Bisa peristiwanya di luar negeri, bisa ancamannya di dalam negeri. Karena itu sangat dimungkinkan dan sudah benar undang-undang TNI mengatur kewenangan TNI memberantas teroris. Cuma kan kita ingin mengharmonisasikannya agar tidak tumpang tindih," tutur dia.
Syafi'i menilai ada pihak-pihak yang sengaja ingin meminimalisasi fungsi TNI terkait pemberantasan terorisme dalam revisi UU Terorisme.
"Itu yang kita khawatirkan di republik ini. Biarkan mereka bekerja sesuai tupoksinya. Baik TNI, baik Polisi, itu semuanya di bawah koordinasi BNPT. TNI tidak bisa bergerak tanpa ada perintah BNPT. Polisi juga," Syafi'i memungkas.