Begini Pancasila Dimaknai di 3 Zaman

Bagaimana pemahaman sekaligus penerapan Pancasila di tiga zaman, yakni Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba), hingga Orde Reformasi.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 01 Jun 2017, 06:03 WIB
Diterbitkan 01 Jun 2017, 06:03 WIB
Pancasila di Lubang Buaya
Penulisan sila per sila dalam ejaan Bahasa Indonesia lama (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Liputan6.com, Jakarta - Pancasila merupakan dasar atau ideologi negara yang dimulai dari pembentukan serangkaian rapat oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Presiden Soekarno, pada 1 Juni 1945, mengemukakan Panca Sila melalui pidatonya, "Lahirnya Pancasila".

Sejak 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun telah menetapkan 1 Juni sebagai peringatan Hari Kelahiran Pancasila. Dalam hal ini, bangsa Indonesia secara resmi dan politis akan memperingati hari terbentuknya dasar negara.

Lalu bagaimana pemahaman sekaligus penerapan Pancasila di tiga zaman, yakni Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba), hingga Orde Reformasi.

Pancasila pada Zaman Orla

Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan, Pancasila di era Soekarno sempat diperdebatkan sebagai dasar negara pada 1957. Para konstituante memperdebatkan dasar negara Indonesia dalam persidangan.

"Mereka berdebat apakah dasar negara itu Pancasila atau Islam atau ideologi sosial ekonomi. Tetapi tidak satu pun dari kelompok yang mencapai suara, sehingga usul atau perdebatan itu menjadi terkatung-katung," ujar Asvi kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu, 31 Mei 2017.

Namun, karena perdebatan tersebut dianggap tidak berhasil menentukan ideologi Indonesia, maka Presiden Soekarno kembali mengeluarkan Dekrit Presiden pada Juni 1959.

"Di sana kan diperdebatkan apakah Pancasila ataukah negara Islam. Itu tidak berhasil, upaya itu sehingga Presiden Soekarno mengembalikan lagi ke Dekrit Presiden. Bulan Juni 1959, kembali ke UUD 1945 di mana Pancasila itu terdapat di dalamnya," kata Asvi.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Zaman Orde Baru

[Bintang] Pekan Pancasila
Pekan Pancasila. (Instagram/jokowi)

Pada zaman Orde Baru yang dikuasai oleh Presiden Soeharto, pemerintah mulai gencar melakukan sosialisasi atau penataran Pancasila terhadap mahasiswa, pejabat negara, dan semua kalangan. Penataran ini dibentuk oleh suatu lembaga khusus, yakni Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7).

Namun, Asvi mengatakan kala itu hasilnya tidak seperti yang diharapkan pemerintah.

"Kita juga tahu dan menyaksikan bahwa hasilnya seperti yang kita ketahui tidak sesuai dengan harapan, karena cara penyelenggaraannya itu lebih banyak bersifat hafalan gitu, jadi ada nilai-nilai Pancasila yang harus dihafalkan," ungkap dia.

Belum lagi, ia menambahkan, Pancasila dijadikan sebagai objek penataran. Bahkan, Pancasila dijadikan sebagai suatu hal yang baku dan tidak berkembang di masyarakat.

Pada zaman itu, Soeharto melarang peringatan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila.


Reformasi Rindu Pancasila

Mimbar Pancasila
Panggung kecil di Gedung Pancasila, yang digunakan Bung Karno menyampaikan gagasan Pancasila (Liputan6.com/Mochamad Khadafi)

Menurut Asvi, pada era Reformasi, muncul suatu gelombang atau kerinduan terhadap Pancasila sebagai suatu ideologi yang merekat dan mempersatukan bangsa Indonesia.

"Ideologi itu adalah Pancasila," jelas dia.

Saat ini, dia merasa Pancasila perlu dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, Asvi berpendapat perlu suatu lembaga yang mengatur dan menyosialisasikan Pancasila.

"Maka itu, perlu suatu lembaga di bawah kepresidenan yang mengatur dan menyosialisasikan Pancasila. Namun tidak efektif jika (sosialisasi) dikerjakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), seperti sosialisasi 4 Pilar. Lebih baik dilakukan oleh lembaga eksekutif saja," imbuh dia.

Asvi menilai Indonesia sangat perlu diberikan penataran tentang Pancasila. Hal ini dilihatnya dari kondisi bangsa Indonesia sekarang.

"Saya merasa masyarakat Indonesia perlu hal seperti itu ketika kita merasakan ada benih-benih perpecahan, ada benih-benih disintegrasi ketika muncul kebencian pada suatu kelompok suatu golongan suatu agama," tutur dia.

"Ini kan menurut saya merugikan bangsa Indonesia yang sudah diperjuangkan oleh pendiri sejak dari masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam waktu yang sangat panjang ini, sangat sayang kalau itu dirusak dengan upaya mengadu domba antarsuku, antaretnis, antaragama, dan lainnya," kata Asvi.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya