DPR Minta Pembantai Rohingya Diseret ke Mahkamah Internasional

Pertempuran terbaru militer Myanmar dengan warga menewaskan ratusan korban jiwa.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 02 Sep 2017, 09:30 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2017, 09:30 WIB
Warga Rohingya
Seorang wanita Rohingya bersama anaknya menangis setelah dihadang petugas perbatasan di sebuah tempat penampungan darurat di Ghumdhum, Cox's Bazar, Bangladesh, (27/8). (AP Photo/Mushfiqul Alam)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari ini, tensi di Myanmar meningkat. Ribuan warga Rohingya pun mengungsi ke Bangladesh. Pertempuran terbaru militer Myanmar dengan warga menewaskan ratusan korban jiwa.

Untuk itu, Ketua Komisi I DPR, Abdul Kharis Almasyhari, meminta agar pemerintah menginvestigasi pembantaian sistematis atau genosida oleh pemerintah Myanmar terhadap muslim Rohingya sebagaimana diduga oleh PBB.

"Krisis ini aib bagi para tokoh dan negara-negara ASEAN. Saya minta seret semua pembantai muslim Rohingya ke Mahkamah Internasional. Hentikan pembunuhan dan pembantaian keji itu," tegas Kharis dalam siaran persnya, Jakarta, Sabtu (2/9/2017).

Yang memprihatinkan, Kharis berharap respons dari negara-negara tetangga, termasuk negara-negara ASEAN dan negara-negara mayoritas muslim, jangan sampai seperti sedang melakukan "pingpong maritim" dengan tujuan mencegah para pengungsi mendarat dan didorong ke negara lain.

"Kita mengapresiasi para nelayan Aceh yang kerap memandu para pengungsi ke pantai. Begitu pula lembaga-lembaga kemanusiaan yang merespons peristiwa ini dengan cepat. Sebagian bahkan sudah terlibat dalam membantu pengungsi Rohingya jauh sebelum peristiwa terakhir ini," kata Kharis.

Gelombang eksodus yang terbaru dimulai sejak Mei 2012, sejak meletusnya konflik di wilayah Rakhine atau Arakan yang menjadikan kelompok minoritas Rohingya sebagai sasaran kekerasan.

Persekusi Rohingya Berlangsung Sejak Puluhan Tahun

Persekusi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar telah dimulai sejak lama. Tahun 1950-an sampai 1960-an, etnis Rohingya diakui sebagai bagian dari Myanmar. Pada 1970-an, pemerintah melakukan berbagai operasi militer dan berbagai mekanisme diskriminatif untuk membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya. Akan tetapi, pada 1982, rezim militer mengeluarkan orang-orang Rohingya dari kategori warga negara. Sejak saat itu, represi yang dilakukan oleh negara semakin keras.

Kharis juga mempertanyakan kenapa Aung San Suu Kyi, sang peraih Nobel Perdamaian hanya diam. "Apakah beliau takut kehilangan banyak suara dalam Pemilihan Umum atau sesungguhnya kelompok 'pro demokrasi' Myanmar pun punya kecenderungan rasis?" tandas Kharis.

Indonesia, kata Kharis, perlu mendorong gagasan tentang pendirian sebuah institusi atau mekanisme pendanaan global untuk pengungsi Rohingya. Namun, hal ini harus dibarengi dengan upaya untuk menyelesaikan akar krisis Rohingya ini, yaitu eksklusi dan diskriminasi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar.

Karena itu, kata dia, dalam jangka menengah dan panjang, termasuk negara-negara ASEAN seperti Indonesia dan Malaysia, harus memulai upaya diplomasi untuk mengakhiri persekusi terhadap komunitas Rohingya di Myanmar.

"Setop segera kejahatan kemanusiaan, apa gunanya ASEAN bersatu kalau tidak mampu melindungi manusia-manusia yang ada di dalamnya?" tandas Kharis.

Saksikan video di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya