Ahli: Angket KPK Seperti Menembak Bebek dengan Meriam

Ahli berpendapat bila KPK dipersoalkan secara administratif, penggunaan hak angket tidak tepat.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 13 Sep 2017, 16:42 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2017, 16:42 WIB
Zainal Arifin Mochtar Jadi Saksi Ahli di Praperadilan BG
Zainal Arifin Mochtar saat menjadi saksi di praperadilan Budi Gunawan. Zainal Arifin Mochtar dihadirkan menjadi saksi ahli oleh kuasa hukum KPK, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (13/2/2015). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengibaratkan hak angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti menembak bebek dengan meriam.

Ia menyampaikan hal itu saat menjadi saksi ahli untuk para pemohon yang melakukan gugatan uji materi soal hak angket, yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

"Saya membayangkan kalau itu masalah administratif tidak perlu hak angket. Karena kalau mau administratif untuk angket, bayangan saya mirip nembak bebek dengan meriam," ucap Zainal di depan persidangan MK, Jakarta, Rabu (13/9/2017).

Menurut dia, status KPK sebagai lembaga yang bersifat independen memang perlu diperjelas. Namun, tafsirannya tidak bisa serampangan.

"Karena kalau bisa dilakukan tanpa konsep jelas, menurut saya itu akan berantakan," jelas Zainal.

Ia berpendapat, bila KPK dipersoalkan secara administratif, penggunaan hak angket pada KPK tidak tepat. Menurut dia, angket merupakan langkah serius, karenanya diibaratkan soal meriam.

Zainal menilai untuk urusan administratif, semestinya DPR bisa memanfaatkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) saja. Karena, jika akhirnya rekomendasi pansus angket tak bisa dijalankan, maka malah bisa menjatuhkan pemerintahan.

"Karena diujungnya rekomendasi yang tatkala rekomendasi tak dijalankan, dia bisa menjatuhkan pemerintahan. Mosi tidak percaya itu sendiri. Serius sifatnya," pungkas Zainal.


Awal Mula Angket

Diketahui, Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu, 19 April 2017 dini hari. Kala itu KPK menolak membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP elektronik.

Pada sidang dugaan korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut, yaitu Novel Baswedan mengatakan Miryam ditekan sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran e-KTP.

Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari Fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu, dan satu orang lagi yang Novel lupa.

Dari sana, kemudian DPR menyebut ingin menyelidiki kinerja KPK hingga urusan anggaran belanja. Pasalnya, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepatuhan komisi antirasuah itu tahun 2015, ada indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

Mulai dari kelebihan pembayaran gaji KPK yang belum diselesaikan atas pelaksanaan tugas belajar, belanja barang direktorat monitor kedeputian informasi dan data yang tak dilengkapi pertanggungjawaban yang dan tak sesuai mata anggaran.

Kemudian pembayaran belanja perjalanan dinas, belanja sewa, belanja jasa profesi, standar biaya pembayaran atas honorarium kedeputian pendindakan, realisasi belanja perjalanan dinas yang tidak sesuai, sampai perencaan gedung KPK yang tak cermat.

Saksikan Video Menarik Di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya