Koalisi Penyiaran Dukung Sistem Single Mux

Menurut Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, pengelolaan penyiaran dengan single mux, tidak akan mengancam demokrasi.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 07 Nov 2017, 02:04 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2017, 02:04 WIB
Diskusi RUU Penyiaran di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Serpong, Senin (6/11/2017).
Diskusi RUU Penyiaran di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Serpong, Senin (6/11/2017). (Liputan6.com/M.Radityo)

Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan mengenai pengelolaan mux dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran hingga kini belum menemui titik temu.

Pemerintah ingin menerapkan sistem single mux dalam penyiaran, sementara pihak swasta menginginkan multi mux.

Menurut Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, pengelolaan penyiaran dengan single mux, tidak akan mengancam demokrasi. Malahan, hal itu menguntungkan pihak swasta dengan berkonsentrasi pada konten mereka.

"Kalau kita percaya negara, maka tawarannya adalah single mux, jadi kompetisi tv swasta tinggal berpikir program, konten," kata perwakian koalisi Ade Armando dalam satu diskusi penyiaran di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Serpong, Senin (6/11/2017).

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran hingga kini terhambat perdebatan pengelolaan mux. Sebagian pihak di parlemen menilai pemilihan single mux operator berpotensi mengancam demokrasi.

"Begini, anggapan mux diserahkan ke negara maka kita kembali ke Orde Baru (mengancam demokrasi), saya sampaikan cara pandang itu distortif. Karena yang dikuasai sarananya, tapi konten kita bikin sedemikian rupa dan ada di UU tidak boleh dicampur tangan," ujar Ade.

Dia menganalogikan, single mux merupakan sarana seperti jalan tol yang disediakan negara, sementara deretan stasiun televisi adalah mobil-mobil di dalamnya. Sehingga dipastikan akan lebih baik bila dipilih single mux. Baik dilihat dari konsumsi daya listrik, towernya, infrastrukturnya, dan sumber daya manusia (SDM).

"Jadi terserah mobilnya, negara memfasilitasi jalan tol. Poinnya adalah banyak alasan teknis yang kami percaya bahwa terbaik ialah single mux diserahkan ke negara," ucap Ade Armando.

Sistem single mux menerapkan pola pengelolaan penyiaran pada satu lembaga penyiaran publik. Hal itu meliputi aspek regulasi maupun operasional.

Single Mux Vs Multi Mux

Dalam single mux, pemerintah, melalui Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI), berperan sebagai pengelola. Sementara multi mux melibatkan lembaga penyiaran swasta atau industri televisi dalam pengelolaan.

Menurut Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio, keputusan nanti harus seimbang. Bila keputusannya menggunakan single mux, lanjut dia, harus ada aturan jelas bagaimana pemerintah mengelola regulasi penyiaran.

Sebab, kekhawatiran utama penggunaan sitem single mux pada potensi monopoli penyiaran. Dampaknya membuat pertumbuhan industri televisi melambat.

"Kalau KPI ini cenderung pada jika single mux, sewa swatsa kepada operator single mux tidak lebih mahal. Dikurangi," jelas dia.

Jika multipe mux yang diterapkan, jangan ada ketimpangan antara pengelola mux dengan pihak lain yang memang tidak berafiliasi.

Agung mencontohkan, dengan rasio pembagian 30 persen untuk pemilik mux dan 70 persen disewakan kepada pihak lain. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kekuatan pemilik modal.

"Kalau multi mux harus diperkuat jangan sampai televisi lokal tidak bisa menggunakan. Jangan cenderung pemilik mux hanya mau menggendong televisi-televisi (miliknya) saja," ujar Agung.

Artinya, lanjut dia, untuk single mux pemerintah tidak dominan dan multi mux pemilik modal tidak mengambil keuntungan berlebih.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya