DPR Belum Juga Tuntaskan RUU Penyiaran

DPR masih belum menuntaskan pembahasan Rencana Undang-undang (RUU) Penyiaran.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 30 Okt 2017, 06:06 WIB
Diterbitkan 30 Okt 2017, 06:06 WIB
Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo
Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - DPR Belum Juga Tuntaskan RUU PenyiaranDPR masih belum menuntaskan pembahasan Rencana Undang-undang (RUU) Penyiaran. Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo, pembahasan RUU Penyiaran masih ditunda karena sedang reses.

"Nantilah setelah reses kita bahas," ujar Firman kepada Liputan6.com di Jakarta, Minggu (29/10/2017).

Dia mengatakan, pembahasan ini tertunda sejak rapat terakhir pada Senin 16 Oktober. Saat ini DPR sedang memasuki masa reses hingga 15 November 2017 mendatang.

"Waktu pleno tertunda. Karena ada perbedaan antara Komisi I dan Baleg," jelas dia.

Terkait sudah sejauh mana lobi-lobi yang dilakukan, Firman enggan menjawab lebih jauh. "Nantilah pembahasannya," kata Firman.

Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR telah mengundang pemerintah, asosiasi televisi swasta, dan stakeholder lainnya untuk membahas RUU Penyiaran.

Menurut Wakil Ketua Baleg DPR Firman Soebagyo, rapat harmonisasi RUU Penyiaran hari ini dibatalkan hingga waktu yang belum ditentukan.

"Kita cooling down dulu lah. Kita kembalikan ke fraksi-fraksi terlebih dahulu," kata Firman.

Alasannya, kata Firman, sebuah undang-undang seharusnya memberikan rasa aman bagi semua pihak, bukan menguntungkan salah satu pihak.

"Undang-undang ini kan harusnya beri keamanan pada semua pihak, kan enggak bisa sepihak. Kalau kita dicurigai, lah wong kita yang buat (UU)," ucap dia.

Sementara itu, terkait polemik single mux dan multi mux operator, Firman menjelaskan saat ini masih dipermasalahkan.

"Itulah persoalan. Single mux dimonopoli oleh lembaga pemerintah. Kalau dimonopoli swasta dikendalikan oleh swasta yang baru dibentuk, belum tahu lembaganya kayak apa, kemudian risikonya investasi di sebuah perusahaan kan enggak main-main," kata dia.

Sehingga, menurut Firman, muncul lah sistem hybrid. Hybrid ini dijelaskannya sebagai campuran dari single mux dan multi mux.

"Inginnya kombinasi antara single mux dan multi mux, sudah lazim disebut hybrid," tutur dia.

Firman menambahkan, DPR tidak mungkin membuat regulasi undang-undang yang justru mundur seperti konsep single mux. Konsep single mux dinilainya bisa memunculkan monopoli baru dalam dunia penyiaran.

"Tidak boleh undang-undang membentuk monopoli baru. Penguasaan frekuensi sekarang swasta, dan sekarang harus dikembalikan ke negara. Misalnya yang punya empat frekuensi, tiga dikembalikan ke negara. Sehingga dengan begini, maka pemerintah akan memiliki lebih banyak dan menguasai," papar dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya